
Suwandi, S.S.
Pengurus Barahmus DIY
Untuk mencapai keselarasan hidup, banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, satu di antaranya adalah tradisi ruwatan. Setidaknya, tradisi ruwatan ini sudah dikenal dan dilaksanakan ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Jawa percaya bahwa tradisi ruwatan dapat membebaskan atau melepaskan seseorang dari hukuman atau kutukan yang membawa sial atau membahayakan.
Sebuah relief Sudamala di Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kuno telah melakukan tradisi ruwatan sejak ratusan tahun yang lalu. Diketahui bahwa Candi Sukuh dibangun pada masa pemerintahan Ratu Suhita, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1429—1446 Masehi (Abad XV). Singkat cerita dalam relief Sudamala tersebut diceritakan bahwa Betari Durga bisa diruwat oleh Sadewa, setelah menunggu 12 tahun dikutuk oleh Dewa Siwa. Ia kembali menjadi wujud semula, yakni Betari Uma.
Kisah ruwatan itu terus dipercaya oleh masyarakat Jawa setelah mengenal cerita pewayangan. Dalam sebuah versi kisah pewayangan lainnya, diceritakan bahwa Batara Guru memiliki hasrat seksual yang tidak terkendali ketika bersama dengan seorang istri selir, ketika mereka sedang berada di punggung sapi yang ditunggangi. Karena istrinya tidak mau meladeni, akhirnya mani Batara Guru tumpah ke lautan. Dari situ, lahirlah anaknya yang bernama Batara Kala. Anak ini memiliki sifat buruk, yakni suka memakan manusia. Disarankan oleh Batara Guru, boleh memakan manusia, asalkan manusia yang termasuk dalam golongan sukerto (konsep Indonesia), yakni manusia-manusia yang masuk dalam kesialan atau bernasib kurang baik yang terancam hidupnya.
Kita runut dulu kata sukerto (sukerta) dan ruwat dalam bahasa Jawa. Kata sukerto sendiri, dalam bahasa Jawa baru tertulis: sukerta/sukarta (Baoesastra Djawa, 1939:570), setelah kata tersebut memperoleh awalan /di/ menjadi disukerta artinya dibebecik, disungga-sungga. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut artinya dibuat menjadi baik, dihormati. Namun di tempat lain masih di dalam bahasa Jawa baru, ada kata suker (Baosastra Djawa, 1939: 570) yang berarti reged, jenes (dalam bahasa Indonesia: kotor, kumuh).
Sementara, di dalam bahasa Jawa kuno seperti yang tertera dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia karangan L. Mardiwasito Tahun 1986 Cetakan ke-3 pada halaman 483-484 disebutkan, kata ruwat berarti rusak, binasa, bejat, copot, dan lepas. Kata rinuwat (diruwat) berarti dirusak, dilepaskan, dan sebagainya. Sehingga orang yang diruwat berarti seseorang yang dilepaskan dari kesialan atau sukerto.
Lalu siapa saja yang termasuk golongan orang-orang yang harus diruwat atau golongan sukerto? Masyarakat Jawa mempercayai bahwa tidak semua anak masuk dalam golongan sukerto yang harus diruwat. Namun yang dimasukkan dalam golongan anak-anak sukerto yang harus diruwat jumlahnya ada 52 golongan, beberapa di antaranya sebagai berikut:
- Anak ontang-anting (anak tunggal putra atau putri)
- Anak uger-uger lawang (dua anak laki-laki semua)
- Anak kembang sepasang (dua anak perempuan semua)
- Anak cukil dulit (tiga anak laki-laki semua)
- Anak gotong mayit (tiga anak perempuan semua)
- Anak pancuran kapit sendhang (tiga anak, yang tengah laki-laki)
- Anak sendhang kapit pancuran (tiga anak, yang tengah perempuan)
- Anak kembar dhampit (dua anak kembar laki-laki dan perempuan)
Lalu bagaimana agar anak-anak yang masuk dalam golongan sukerto terhindar dari segala malapetaka yang mungkin terjadi di dalam kehidupannya nanti? Masyarakat Jawa percaya bahwa anak-anak dari golongan tersebut harus diruwat agar hidupnya nanti terlepas dari segala kesialan dengan cara menanggap wayang kulit dengan lakon Murwakala. Bagi keluarga yang kaya, tentu bisa melaksanakan sendiri dengan mengundang dalang ruwat. Namun dalam perkembangan zaman, beberapa waktu lalu sering kita jumpai bahwa ruwatan bisa dilakukan dengan massal, artinya dilakukan bersama-sama di suatu tempat tertentu dengan mengundang dalang ruwat. Tempat di Yogyakarta yang sering melakukan ruwatan massal di antaranya adalah Keluarga Besar Majelis Luhur Tamansiswa, Yayasan Javanologi Yogyakarta, dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Balai Kajian Jarahnitra, sebelum berganti nama menjadi Balai Pelestarian Nilai Budaya—BPNB). Namun sejak pandemi Covid-19, ruwatan massal sudah tidak terdengar lagi.
Walaupun di masyarakat Jawa banyak profesi dalang yang biasa mementaskan wayang kulit atau biasa disebut wayang purwa, namun ternyata tidak semua dalang mampu dan berani tampil sebagai dalang ruwat. Tentu saja hanya dalang-dalang yang mumpuni saja yang mampu melakukan ruwatan. Di Yogyakarta sendiri, dulu salah satu dalang ruwat yang terkenal adalah Ki Cermo Timbul Hadiprayitno yang berasal dari daerah Panjangjiwo, Patalan, Bantul. Dalang ruwat sering disebut pula sebagai Dalang Kandhabuwana.
Kebetulan dulu beberapa kali penulis pernah mengikuti Ki dalang Timbul Hadiprayitno mengadakan pentas ruwatan yang dilakukan oleh keluarga secara mandiri dengan lakon Murwakala. Biasanya pentas wayang ruwatan dilakukan pada siang hari. Berbeda dengan pentas wayang biasa, di dalam pentas wayang ruwatan lebih banyak ubarampe sesajian yang harus disiapkan oleh keluarga yang melakukan tradisi ruwatan. Di samping panggung pertunjukan wayang, biasanya diletakkan berbagai ubarampe sesaji ruwatan, mulai dari makanan jajanan pasar, berbagai jenis tumpeng, berbagai jenis bubur, berbagai tanaman, hewan unggas piaraan termasuk burung merpati, hingga berbagai jenis kain lurik yang disampirkan di geber wayang.
Selain itu, sebelum dilaksanakan pentas wayang lakon Murwakala, anak-anak yang diruwat harus menjalankan serangkaian upacara seperti mandi air kembang, potong rambut, hingga mengenakan kain putih bersih. Lalu mereka digiring menuju tempat pentas wayang. Kemudian ki dalang mulai membaca mantra dalam bahasa Jawa. Di dalam mantra tersebut, semua anggota tubuh anak yang diruwat disebutkan seperti mata, tangan, jari, mulut, telinga, dan lain sebagainya. Termasuk berbagai jenis rambut yang menempel di dalam diri orang yang diruwat seperti rambut idep, alis jenggot brewok dan sebagainya. Begitulah setelah usai membaca mantra kemudian dilanjutkan dengan pentas wayang kulit lakon Murwakala. Biasanya pentas wayang ruwatan dihadiri oleh warga masyarakat yang penasaran ingin melihat pentas wayang ruwatan. Karena di masyarakat sangat jarang warga yang melakukan ruwatan secara mandiri kecuali keluarga-keluarga kaya.
Masyarakat Jawa dewasa ini masih mengenal tradisi ruwatan karena memang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Walaupun terus mengalami degradasi pemaknaan namun nyatanya masyarakat Jawa hingga saat ini masih ada yang percaya dengan tradisi ruwatan. Namun banyak pula yang sebaliknya. Ketika tradisi ruwatan dilihat sebagai sebuah tradisi budaya sebuah masyarakat tentu perlu dilestarikan karena itu termasuk kekayaan budaya yang bisa digelar untuk kegiatan lain seperti pariwisata dan menjadi kekayaan intelektual sebuah masyarakat khususnya Jawa. (*)