
Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.
Perintis dan Pengembang Kajian Kayu Budaya Nusantara
Pengantar
Di dalam naskah nomor empat yang diunggah pada Minggu yang lalu telah disajikan uraian tentang karakter vegetasi bambu. Naskah yang disajikan sekarang ini mengupas tentang topik karakter buluh bambu dalam hal sifat kimia dan anatomi buluh. Topik ini merupakan cuplikan yang mendetil dari isi yang secara agregatif yang disajikan di dalam naskah seri nomor tiga yang telah membahas tentang sifat-sifat dasar kayu budaya. Dengan demikian, naskah nomor lima ini menyajikan bahasan tentang sifat dasar, khususnya sifat kimia dan sifat anatomi buluh bambu dalam kaitannya dengan konsep ekofisiologi dan nilai tinggi kearifan tradisional budaya dalam hal pemilihan waktu untuk menebang buluh bambu. Sifat kimia dan anatomi buluh bambu dalam fungsinya sebagai detektor ketepatan kearifan budaya tradisional masyarakat dalam hal penentuan waktu tebang bambu.
Naskah ini akan mencakup enam sub bab, yaitu: Buluh Bambu, Sifat Kimia Penyusun Buluh, Sifat Anatomi, Ekofisiologi, Pranoto Mongso, dan Pemilihan Waktu Penebangan Bambu. Pengunggahan naskah pada Website Barahmus ini akan dilakukan dalam dua tahapan. Unggahan pada tahap pertama akan berisi sub-bab Buluh Bambu sampai dengan Ekofisiologi, sedangkan unggahan tahap kedua akan dimulai dari sub-bab Pranoto Mongso sampai dengan Kesimpulan. Unggahan tahap pertama yang dimulai dari sub-bab Buluh Bambu disajikan sebagai berikut:
1. Buluh Bambu
Buluh bambu merupakan batang tunggal pada vegetasi bambu yang hidupnya merumpun. Karena sifatnya yang merumpun, maka di dalam satu rumpun bambu terdapat banyak buluh. Dalam hal umur, buluh tertua berada pada pusat rumpun, sedangkan buluh yang semakin muda berada pada posisi yang semakin di bagian terluar rumpun bambu. Semua buluh ini menyatu pada bagian pangkalnya dalam suatu sistem perakaran yang rhizomatik.
Dalam pandangan morfologi, setiap satu satuan buluh secara keseluruhan berbentuk silinder. Silinder ini berongga pada bagian dalamnya. Meskipun demikian, rongga ini tidak berada dalam kondisi monolit, melainkan tersekat-sekat secara vertikal. Hal ini disebabkan karena buluh ini secara alami terdiri atas dua bagian yang kehadirannya berselang seling. Kedua bagian tersebut adalah bagian ruas (nodia) dan antar ruas (internodia). Pada bagian antar ruas terdapat rongga di bagian dalamnya. Oleh karena itu, penampang melintang buluh terdiri atas dua dinding yang bersifat konsentris. Masing-masing disebut dinding-bagian-dalam buluh dan dinding-bagian-luar buluh.
Di dalam rongga ini terdapat udara. Di samping itu, sering kali juga terdapat air dalam wujud cairan. Udara dan air ini selalu terkurung di dalam rongga buluh bambu sepanjang lini waktu. Keterbebasannya menuju pada atmosfer hanya dapat berlangsung apabila terjadi dua hal. Pertama, dinding buluh mengalami cacat pecah atau terbelah yang disebabkan oleh daya rusak yang ditimbulkan oleh puting beliung. Kedua, dinding buluh mengalami pecah atau terbelah berkat bantuan manusia dalam kegiatan penebangan dan pengerjaannya dalam wujud pembelahan buluh bambu.
Buluh bambu tersusun atas unsur-unsur kimia yang terbentuk secara alami di sepanjang kehidupan yang dialami oleh vegetasi bambu. Pembentukan unsur-unsur kimia berlangsung melalui suatu proses yang secara keseluruhan disebut biosintesis. Karena dihasilkan dari bahan alami, maka buluh bambu dapat mengalami degradasi. Unsur-unsur kimia pembentuk materi buluh bambu secara keseluruhan disebut lignoselulosa. Secara lebih detil, jenis-jenis unsur kimia tersebut disajikan dalam sub-bab berikut.
2. Unsur Kimia Penyusun Buluh Bambu
Seluruh unsur kimia buluh bambu dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu unsur struktural bagi buluh bambu dan unsur non-struktural. Unsur struktural berarti bahwa unsur ini merupakan bagian integral pada buluh bambu. Apabila unsur ini diambil atau diekstraksi, maka wujud struktur fisik buluh bambu akan menghilang. Sebaliknya, unsur non-struktural berarti bahwa unsur ini merupakan bagian non-integral pada buluh bambu. Apabila unsur ini diambil atau diekstraksi, maka wujud struktur fisik buluh bambu masih tetap ada sebagaimana wujudnya sebelum dilakukan proses ekstraksi.
Unsur struktural meliputi selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Sementara itu, unsur non-struktural terdiri atas zat-zat berupa: pati (karbohidrat), zat warna, mineral, dan silika. Mineral dan silika ini merupakan zat anorganik sehingga merupakan zat yang sifatnya tidak terbakar. Apabila dilakukan pembakaran terhadap buluh bambu, maka abu yang tersisa setelah proses pembakaran itu merupakan mineral anorganik dan silika ini. Oleh karena dapat diekstraksi, maka zat-zat ini disebut zat ekstraktif. Zat ekstraktif ini dapat dikategorikan sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder.
Unsur-unsur kimia itu tersintesiskan oleh tetumbuhan Bambu melalui proses biosintesis dan sintesis ini mewujadkannya menjadi unit sel. Sel ini jumlahnya sangat banyak, yakni mencapai angka pada tingkatan bermilyard satuan sel. Sel-sel ini diorganisasikan berdasarkan atas kesamaan fungsi dan membentuk suatu jaringan. Ada beberapa macam jaringan. Keragaman jaringan disajikan dalam sub bab Anatomi Buluh Bambu sebagai berikut.
3. Anatomi dan Struktur Buluh Bambu
Anatomi buluh bambu dapat diamati dengan cara melakukan pengirisan secara melintang terhadap buluh bambu. Hasil pengirisan menghasilkan penampang yang disebut penampang melintang buluh bambu. Karena arah pengirisannya yang melintang, maka bidang penampang melintang ini diberi tanda Penampang X yang berasal dari kata Crossing. Foto dengan perbesaran 32 kali pada irisan melintang pada bagian dinding terdalam buluh bambu Wulung disajikan sebagai lampiran yang menyertai naskah unggahan pertama ini. Sementara itu, irisan melintang pada bagian tengah dinding buluh dan irisan melintang pada bagian dinding terluar buluh bambu akan disajikan menyertai naskah unggahan tahap kedua.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa sel yang terbentuk dan menyusun buluh bambu itu dapat mencapai angka bermilyard satuan sel. Sel-sel ini diorganisasikan berdasarkan atas kesamaan fungsi. Berdasarkan kesamaan fungsi itu, maka pada tingkatan seluler terdapat enam (6) jenis sel, yaitu sel-sel: epidermis, xylem, floem, parenkim, serat, dan sklerenkim. Sel-sel yang fungsinya sama kemudian disusun dan diorganisasikan menjadi suatu struktur yang disebut Jaringan.
Dengan demikian, terdapat enam macam jaringan di dalam buluh bambu. Masing-masing jaringan ini diberi nama sesuai dengan nama sel penyusunnya. Dengan demikian, maka pada buluh bambu terdapat jaringan:
- Epidermis
- Serat atau serabut
- Sklerenkim
- Floem
- Xylem
- Parenkim
Nomor urutan jaringan ini sekaligus berfungsi sebagai keterangan terhadap foto yang akan dilampirkan menyertai naskah ini. Masing-masing jaringan itu memiliki fungsi yang unik dan spesifik, yakni sebagai berkas perlindungan, berkas kekuatan, berkas pengangkutan, dan berkas penyimpanan. Secara terperinci, masing-masing fungsi itu dideskripsikan sebagai berikut:
Jaringan epidermis merupakan jaringan yang kedap dan berfungsi sebagai pelindung terhadap buluh bambu secara keseluruhan. Jaringan ini berada sebagai lapisan terluar pada dinding terluar buluh bambu. Jaringan serat berfungsi sebagai bagian yang menghadirkan kekuatan mekanis pada buluh bambu. Jaringan sklerenkim memiliki fungsi yang sama dengan fungsi jaringan serat. Jaringan xylem berfungsi sebagai berkas pengangkutan untuk mengalirkan air dan mineral dari akar menuju ke daun bambu. Jaringan floem berfungsi sebagai berkas pengangkutan untuk mengalirkan produk fotosintesis berupa karbohidrat atau pati dari daun menuju ke seluruh bagian tubuh bambu. Sementara itu, jaringan parenkim berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan karbohidrat atau pati yang dihasilkan oleh proses fotosintesis.
Proses pembentukan berbagai sel penyusun buluh bambu itu berkait erat dengan dua kondisi, yaitu kondisi ekologi tempat tumbuh bambu dan kondisi fisiologi yang berproses di dalam tubuh vegetasi bambu. Oleh karenanya, pembentukan sel-sel tersebut ditentukan oleh interaksi antara kedua kondisi tersebut. Pembahasan tentang kedua kondisi itu disatukan dalam suatu terma yang disebut Ekofisiologi Tetumbuhan. Uraiannya disajikan dalam sub-bab berikut.
4. Ekofisiologi Tetumbuhan
Sebagaimana disebutkan, bahwa terma Ekofisiologi merupakan penyatuan antara kondisi ekologi dan konsep fisiologi. Ekologi mendsikripsikan tentang kondisi lingkungan hidup tempat tumbuh rumpun bambu. Kondisi lingkungan ini berkait dengan unsur-unsur tanah, air, iklim dan cuaca dan sinar matahari. Sementara itu, ketersediaan setiap unsur tersebut dan kualitasnya ditentukan oleh lingkungan geografis dan rona muka bumi. Kondisi geografis dan rona muka itu dapat berupa lingkungan pesisir pantai, dataran rendah, atau dataran tinggi. Lingkungan pantai dan pesisir ditandai oleh air yang memiliki kadar garam yang sangat tinggi dan suhu udara yang sangat tinggi pula. Sebaliknya, lingkungan dataran tinggi itu memiliki kondisi ekologi yang berlawanan dengan lingkungan pantai. Sementara itu, lingkungan dataran rendah memiliki kondisi di antara keduanya.
Demikian penyajian tentang ekologi. Penyajian ini akan disusul penyajian tentang fisiologi tumbuhan. Uraiannya disajikan sebagai berikut.
Fisiologi tumbuhan perbambuan meliputi proses-proses: penyerapan, transportasi, fotosintesis dan sintesis lebih lanjut. Proses penyerapan berlangsung terhadap air dan garam mineral dilakukan oleh akar dan terhadap carbon dioksida dilakukan oleh stomata pada daun. Proses transportasi terhadap air dan garam mineral dari akar menuju ke daun dilakukan oleh xylem. Proses fotosintesis merupakan proses yang mensintesis air dan karbon dioksida oleh daun untuk menghasilkan karbohirat dan gas oksigen. Proses transportasi hasil fotosintesis karbohidrat dari daun menuju ke seluruh bagian tumbuhan diperankan oleh jaringan floem. Proses sintesis lebih lanjut merupakan proses penyusunan berbagai zat. Dalam proses sintesis ini, maka karbohidrat dijadikan bahan dasar untuk disintesiskan lebih lanjut membentuk berbagai zat, yakni protein, enzim, hemiselulosa, selulosa, lignin, serta zat warna dan metabolit sekunder yang lain. Enzim yang dibentuk antara lain auksin dan gilberin.
Proses fisiologi ini berbeda-beda kecepatannya di sepanjang garis perjalanan waktu dalam durasi satu tahun. Hal ini ditentukan oleh kondisi cuaca dan iklim. Kondisi iklim dan cuaca di sepanjang tahun telah diamati dan dirumuskan dalam wujud kearifan lokal tradisi budaya etnik Jawa dalam suatu kalender partanian yang disebut Pranoto Mongso.
Uraian tentang kalender Pranoto Mongso sampai dengan sub-bab Kesimpulan akan disajikan pada unggahan tahapan kedua. Sebagaimana telah disebutkan bahwa unggahan tahapan kedua merupakan bagian akhir dari naskah ini. Bagian akhir sebagai unggahan tahapan kedua akan menyusul setelah unggahan tahapan pertama ini.