
Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.
Perintis dan Pengembang Kajian Kayu Budaya Nusantara
Pendahuluan
Bambu merupakan salah satu material paling serbaguna di Nusantara karena bambu digunakan untuk sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan hidup keseharian, antara lain kerajinan, perabotan rumah tangga, konstruksi, alat pertanian dan alat music. Teknologi tradisional yang berkait dengan penebangan, pengawetan, dan pengeringan bambu terbukti mampu untuk mendapatkan buluh bambu yang terbukti efektif mempertahankan kekuatan, keawetan dan keindahan bambu serta kualitasnya yang tinggi, Oleh karena itu, teknologi tradisional ini diwariskan secara turun-temurun
Tulisan ini mencoba untuk menyajikan alasan akademik berkait dengan kearifan tradisional berupa metode penebangan, pangawetan dan pengeringan buluh bambu tersebut. Dalam konteks ini, Naskah yang disajikan ini akan terfokus pada kearifan tradisional penebangan bambu. Kearifan tradisional berkait dengan pengawetan dan pengeringan bambu akan disajikan secara menyusul. Kearifan tradisional berkait dengan Penebangan Bambu akan diperinci menjadi tiga sub-bab, yakni pemilihan waktu tebang, penggunaan alat tebang dan Teknik penebangan. Perincian detailnya disajikan sebagai berikut.
- Pemilihan Waktu Tebang
Secara tradisional, pelaksanaan penebangan bambu itu dipilih waktunya secara berhirarki (step-wise) dalam tiga tataran, yaitu pada Mangsa Kasa, pada bulan tilem serta pada pagi atau sore hari. Artinya, dalam waktu satu tahun itu, penebangan dipilih pada masa Kasa. Pada masa kasa itu, penebangan dipilih pada bulan tilem (hari-hari gelap dalam bulan) dan bukan pada bulan purnama. Pada bulan tilem pun, penebangan dipilih untuk dilakukan pada pagi atau sore hari dan menghindari untuk melakukannya pada siang hari.
Pemilihan waktu secara tradisional ini ternyata menghasilkan bambu yang berkualitas. Penjelasan keilmuan secara rasional dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni kandungan pati dan populasi serangga. Masing-masing sudut pandang disajikan sebagai berikut.
1.1. Mangsa Kasa dan Produksi Pati Dalam Bambu
Dalam kalender Pranata Mangsa, durasi waktu satu tahun itu dibahi menjadi 12 periode (mangsa), yakni Kasa, Karo, Katigo, Kapat, Kalimo, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasongo, Kasapuluh, Desto, dan Sodho.
Mangsa Kasa merupakan Musim kemarau karena bertepatan dengan bulan Juni sampai dengan Agustus. Saat musim kemarau, bambu tidak intensif menyelenggarakan proses fotosintesis yang menghasilkan pati karena kekahatan ketersediaan air. Bambu dikatakan dalam fase “istirahat”. Bahkan pati yang tersimpan di dalam jaringan parenkim juga telah terkuras habis, sehingga kandungan pati di dalam bambu dalam kondisi sangat rendah. Pati yang tersedia telah digunakan dalam metabolisme bambu. Pati yang pernah tersedia telah diurai menjadi gula untuk bertahan hidup. Di samping itu, aliran sap yang merupakan campuran antara air dan garam mineral itu juga berkurang. Hal ini juga mengakibatkan proses fotosintesis melambat.
1.2. Bulan Tilem
Bulan Gelap atau Fase Bulan Mati (bulan tilem) berimplikasi pada ketiadaan sinar. Oleh karena sinar itu merupakan komponen pembantu dalam proses fotosintesis, maka ketiadaan sinar akan mengibatkan proses fotosintesis berlangsung sangat rendah. Hal ini berimplikasi pada pembentukan pati juga berlangsung secara melambat sehingga jumlah pati yang terbentuk pun juga sangat sedikit. Di samping itu, bulan gelap itu merupakan situasi yang disertai dengan daya tarik menarik antara bulan dan bumi itu dalam kondisi yang rendah. Hal ini mengakibatkan sap (air dan garam mineral) juga mengalir secara sangat lambat dari akar menuju ke daun. Oleh karena sap ini merupakan bahan dasar bagi proses fotosintesis, maka perlambatan gerakan sap ini mengakibatkan ketersediaan sangat sedikit sap untuk proses fotosintesis sehingga fotosintesis pun menghasilkan pati dalam jumlah yang sangat sedikit.
1.3. Penebangan pada Pagi atau Sore Hari
Segmen waktu pagi hari merupakan lini waktu sebelum jam 10 dan segmen waktu sore hari adalah lini waktu setelah jam14, sementara itu, segmen waktu siang hari merupakan lini waktu pukul 10.00 sampai dengan 14.00. Lini waktu pagi dan sore hari itu tersedia sinar matahari dalam intensitas paparan yang tidak intensif. Oleh karena intensitas sinar matahari itu diperlukan dalam proses fotosintesis, maka ketersediaan sinar yang sedikit itu akan mengakibatkan proses fotosintesis tidak berlangsung secara maksimal. Dengan demikian, maka jumlah pati yang dihasilkannya juga sangat sedikit.
Di samping aspek fotosintesis, terdapat pula aspek suhu dan proses penguapan. Pada waktu pagi dan sore hari, suhu udara tidak begitu tinggi sehingga lebih sejuk. Kondisi sejuk ini akan mengakibatkan pengurangan tegangan pertumbuhan (growth stres) pada bambu saat bambu itu ditebang. Rendahnya derajat tegangan pertumbuhan ini akan meningkatkan kualitas fisik buluh bambu, khususnya dalam hal sifat fisika kembang susut dan sifat mekanika kekuatan bambu.
Berdasarkan urian di atas, maka dapat dipahami bahwa Penebangan bambu yang dipilih untuk dilakukan pada mangsa Kasa atau musim kemarau, dan bulan gelap, serta pada saat hari pagi atau sore hari itu merupakan strategi untuk mendapatkan kandungan pati yang rendah di dalam buluh bambu. Di samping itu, pemilihan waktu tebang tersebut juga memberikan dampak positif lain, yakni berupa kadar air lebih rendah, kondisi serat yang lebih rapat di dalam buluh bambu, kestabilan dimensi yang lebih tinggi, serta kekuatan yang lebih tinggi pada buluh bambu.
Demikian uraian tentang pemilihan waktu tebang yang ditinjau dari sudut pandang aspek jumlah pati yang dikandung di dalam buluh bambu. Kini tiba gilirannya untuk membahas pemilihan waktu tebang yang ditinjau dari sudut pandang aspek serangga. Pembahasannya sebagai berikut.
Kumbang Bubuk (Dinoderus minutus) merupakan salah satu jenis serangga yang berukuran sangat kecil. Kumbang ini memilih buluh bambu sebagai tempat untuk hidup dan berkembang biak. Serangga ini mengkonsumsi pati sebagai asupan energi untuk mempertahankan hidup dan pekembangbiakannya.
Biologi dan siklus hidup kumbang bubuk ini bergulir mengikuti pergeseran waktu di dalam kalender Pranata Mangsa. Setiap siklus hidup serangga ini dalam tahapan kawin, bertelor, menetas, nimfa, remaja dan dewasa berlangsung mengikuti Pranata Mangsa. Dengan demikian, populasi pada tahap dewasa itu sangat fluktuatif sepanjang tahun Pranata Mangsa. Dalam konteks ini, maka jumlah populasinya sangat rendah pada terutama pada Mangsa Kasa dan Karo.
Ada beberapa alasan mengapa jumlah populasi Dinoderus minutus mencapai tingkatan yang rendah pada Mangsa Kasa dan Karo atau Musim Kemarau.
Pertama, Minimalnya ketersediaan Pati sebagai bahan makanan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa Kumbang bubuk betina hanya bertelur pada bambu yang memiliki kadar pati tinggi, yakni minimum 5%. Sementara itu, kadar pati bambu turun menjadi 1–3% pada musim kemarau. Dengan demikian, jumlah pati yang tersedia tidak mencukupi untuk mendukung dalam perkembangan anak atau larva. Di samping itu, telur yang menetas menjadi larva pun akan mati karena kekurangan makanan yang berupa pati itu.
Kedua, Kondisi Mikro Lingkungan Tidak Ideal. Dalam konteks ini, terlihat bahwa kelembaban udara pada tingkat yang rendah di dalam rumpun bambu akibat musim kemarau. Kelembaban rendah ini mengakibatkan larva kumbang rentan mengalami dehidrasi. Di samping itu, kondisi suhu udara juga pada tingkat tinggi: Suhu siang hari yang ekstrem dapat mencapai lebih dari 35°C. Suhi tinggi ini akan membunuh telur dan larva yang sensitif.
Ketiga, adanya persaingan dengan Predator Alami. Pada musim kemarau, predator alami semisal semang (Cleridae) dan tawon parasit (Anisopteromalus) lebih aktif mencari mangsa. Hal ini disebabkan karena sumber makanan lain dalam kondisi langka. Oleh karena itu, Kumbang bubuk yang bertahan hidup itu menjadi target mudah oleh sang predator tersebut.
Sebaliknya, pada Mangsa Katelu sampai dengan Kapitu atau Musim penghujan, maka Kadar pati di dialam buluh bambu itu sangat tinggim yakni 5 sampai dengan 8% sebagai akibat dari aktifnya bambu menyelenggarakan fotosintesis. Di samping itu, kelembaban udara juga optimal bagi kumbung bubuk dewasa untuk bertelur dan menetas menjadi larva. Dengan demikian, maka kondisi ini sangat ideal bagi kumbang bubuk untuk berreproduksi, sehingga.jumlah populasinya meledak dalam jumlah yang melimpah. Oleh karena itu, bambu yang ditebang pada mangsa Katelu sampai dengan kapitu ini tidak akan awet karena mendapat infestasi sangat intensif oleh kumbang bubuk yang populasinya sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil studi Balai Besar Perbenihan Hortikultura (2020) yang menyatakan, bahwa Infestasi kumbang bubuk pada bambu yang ditebang di Mangsa Kasa 70% lebih rendah daripada bambu musim hujan.
- Alat dan Teknik Penebangan
Alat yang digunakan pada penebangan ini berupa Golok atau Gergaji. Golok atau gergaji ini sudah tentu sisi iris alat tersebut berstatus dalam kondisi tajam. Pemotongan dilakukan dalam posisi miring terhadap permukaan tanah dengan tingkat kemiringan yang membentuk sudut 45°. Hal ini dimaksudkan agar air hujan tidak menggenang pada bagian tunggak yang tersisa sebagai tunggul batang paska tebang.
Selain bersudut 45° ini, pemilihan lokasi bidang potong juga harus dipertimbangkan. Dalam hal ini, bidang potong tersebit ditempatkan pada ruas ketiga yang dihitung dari pangkal batang. Dengan demikian, tunggak sebagai bagian batang yang tersisa itu akan tersusun atas satu sampai dengan dua ruas yang dihitung dari muka tanah. Kebaradaan ruas tunggak ini akan memacu pertumbuhan tunas baru. Di samping itu, dalam penebangan ini juga harus menghindari kerusakan, baik dalam wujud batang bambu pecah atau retak pada saat penebangan.
Dalam konteks Teknik Penebangan, maka perlu diupayakan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan. Di samping itu, arah rebah batang harus ditujukan kearah luar rumpun bambu. Konkretnya, diupayakan untuk menghindari jatuhnya batang yang mengakibatkan kerusakan terhadap batang yang lain.
- Pola Penebangan
Pola Penebangan Bambu dalam Rumpun mencakup tiga aspek, yakni (1) Posisi Batang Target Tinebang, (2) Jumlah Maksimum batang yang ditebang, dan (3) Pola Pasca-Tebang. Masing-masing aspek disajikan sebagai berikut.
Dalam hal aspek pertama, yakni Target batang tinebang atau memilih batang yang akan ditebang, maka dalam sebuah rumpun bambu yang di dalamnya terdiri atas 16 batang bambu, kriteria pemilihan batang yang diprioritaskan untuk ditebang itu menyangkut dua pertimbangan, yakni umur batang dan kondisi kesehatan batang.
Dalam hal umur batang, maka batang yang ditebang adalah batang muda yang berumur 1 sd. 2 tahun untuk bahan kerajinan anyaman dan batang tua yang berumur 3–5 tahun untuk bahan konstruksi. Batang muda dicirikan oleh penampilan luar batang, yakni warna batang yang berona terang, lapisan lilin mulai memancar kuat dan belum tertempeli oleh bercak-bercak putih sebagai tanda adanya jamur yang melekat pada permukaan batang. Sebaliknya, batang berumur tua dicirikan oleh warna yang berona gelap, lapisan lilin mulai mengelupas dan banyak bercak-bercak putih yang menempel pada permukaan batang.
Dalan hal kondisi batang, maka batang yang dipilih untuk ditebang adalah batang yang mengalami cacat itu diprioritaskan untuk ditebang. Kecacatan batang dapat berupa cacat retak, bengkok, atau terserang hama. Hal ini dimaksudkan agar saat paska penebangan itu kondisi rumpun menjadi lebih sehat dan vigoritas atau percepatan pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga kelestarian rumpun lebih terjaga dan produktivitasnya menjadi lebih tinggi di masa panen berikutnya. Apabila di dalam rumpun itu tidak ada batang yang cacat, maka batang yang sehat dipilih untuk ditebang.
Dalam aspek yang kedua, yakni jumlah maksimal batang yang boleh ditebang, maka penebangan sebagai cara pemanenan itu wajib mempertahankan dan menerapkan Prinsip Kelestarian. Berdasarkan prinsip ini, maka jumlah maksimum batang yang ditebang adalah hanya sepertiga dari jumlah batang penyusun suatu rumpun bambu. Dalam konteks ini, maka rumpun bambu yang mendukung prinsip kelestarian adalah rumpun bambu yang beranggotakan minimum 16 batang bambu.
Dalam rumpun yang beranggotakan 16 batang itu, maka penerapan prinsip penebangan sepertiga itu berarti jumlah maksimal 5 batang (31%) saja boleh ditebang dalam satu periode musim penebangan. Batang yang ditebang sejumlah ini akan menghindarkan Rumpun bambu paska penebangan itu akan terhindar dari stres ekofisiologis sehingga pertumbuhan baru pada rumpun tersebut tidak akan terhambat. Dengan demikian, jumlah minimal 11 batang di dalam rumpun itu akan tetap menjaga stabilitas, kesehatan rumpun dan intensitas fotosintesis yang cukup tinggi.
Apabila prinsip kelestarian ini tidak ditaati, maka penebangan akan mengakibatkan dampak negative bagi Kesehatan rumpun dan dampak ekologi yang menyertainya. Apabila penebangan itu melampau persentase, semisal lebih dari 40% batang yang ditebang, maka rumpun mengalami pelemahan dalam hal vigoritas atau keadrengan untuk bertumbuh. Di samping itu, tunas baru juga mengalami kondisi kerdil (stunting) dan meningkatnya risiko invasi atau serangan hama dan penyakit tumbuhan bambu. Sementara itu, apabila penebangan dilakukan terhadap batang muda, maka proses regenerasi bagi rumput tersebut akan terhambat, bahkan rumpun tersebut dapat mengalami kematian dalam jangka waktu 2 sampai dengan 3 tahun paska penebangan.
Dalam aspek yang ketiga, yakni Pola Penebangan dan Bentuk Rumpun Pasca-Tebang, maka terdapat sekurang-kurangnya dua pola penebangan, yakni pola melingkar berlapis dan pola tapal kuda. Pada Pola “Melingkar Berlapis”, maka penebangan dilakukan dengan pola sebagai berikut. Penebangan dilakukan sebanyak 2 batang terhadap lapisan terluar rumpun bambu yang pada umumnya terdiri atas 8 batang bambu, sehingga pada lapisan terluar itu akan tertinggal sebanyak 6 batang bambu.
Penebangan dilakukan sebanyak 2 batang terhadap lapisan bagian tengah rumpun bambu yang pada umumnya terdiri atas 6 batang bambu, sehingga pada lapisan tengah ini akan tertinggal sebanyak 4 batang bambu.
Penebangan dilakukan sebanyak satu batang terhadap lapisan terdalam rumpun bambu yang pada umumnya terdiri atas 2 batang bambu, sehingga pada lapisan terdalam itu akan tertinggal sebanyak satu batang bambu.
Pola penebangan ini akan menghasilkan struktur rumpun bambu paska tebang dalam konfigurasi tertentu, yakni rumpun tetap tetap dalam kondisi rapat di bagian tepi terluar, tetapi ada ruang untuk tunas baru di bagian tengah rumpun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam rumpun 16 batang, tebang maksimal 5 batang tua/cacat dengan pola menyebar untuk pertumbuhan seimbang. Selalu pertahankan struktur melingkar rumpun dan prioritaskan kelestarian jangka panjang.
Referensi
Balai Besar Perbenihan Hortikultura, 2020. Studi Pengaruh Masa Penebangan terhadap Infestasi Kumbang bubuk pada Pambu.