
Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.
Perintis dan Pengembang Kajian Kayu Budaya Nusantara
Pengantar
Dalam empat seri tulisan yang lalu telah disajikan bahasan berisi sifat-sifat dasar bambu yakni sifat: kimia, anatomi, fisika dan mekanika, juga tentang kondisi fisik bambu. Saat ini tiba masanya untuk menyajikan bahasan tentang bambu sebagai materi berfilsafat pada seri publikasi kesembilan ini. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sifat-sifat dasar itu akan ditindak-lanjuti dengan sifat-sifat pengolahan bambu beserta praksis peenfaatannya. Sifat-sifat pengolahan mencakupi berbagai tintakan kegiatan. Tindakan kegiatan dibedakan menjadi tujuh tahapan proses, yaitu: pemanenan dan penebangan bambu, pengeringan bambu, pengawetan buluh bambu, perancangan produk fungsional yang akan dihasilkan, perencanaan tentang tahapan kegiatan pekerjaan selama proses fabrikasi pembuatan produk, pengerjaan untuk menghasilkan produk dan perlakuan akhir (finishing) berupa pelapisan permukaan produk berbahan bambu. Sementara itu, berbagai praksis sebagai tahap refleksi dan aksi dalam rangka pengolahan ini memerlukan pemikiran yang mendalam, sikap hidup, tindakan dan ketrampilan tertentu beserta kompetensinya dalam rangka memproduksi dan berkarya memanfaatkan bambu.
Sikap hidup, tindakan dan ketrampilan ini perlu ditumbuhkan berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan. Kearifan dan kebijaksanaan diperolah dari kegiatan berfilsafat yang di dalamnya diliputi oleh situasi merenung dan berefleksi serta berdialog tanya-jawab yang berlangsung di dalam diri sendiri.
Kegiatan berfilsafat dapat dilatih dan dilakukan dalam proses pendidikan formal maupun non-formal dalam latar belakang khasanah tradisi kebudayaan berbagai etnik, termasuk tradisi dalam kebudayaan Jawa. Kegiatan berfilsafat berbasiskan bambu sebagai objek sangat wajar dilakukan karena adanya kedekatan manusia terhadap bambu. Begitu dekatnya relasi ini, sehingga bambu bersama pisang dan kelapa dipilih untuk selalu ditanam di kawasan lahan adat berbagai etnik nusantara, termasuk pekarangan tradisional pada etnik Jawa.
Bambu sebagai objek berfilsafat meliputi lima aspek, yakni: sifat tetumbuhan bambu, karakter rumpun bambu, kondisi fisik dan morfologi buluh bambu, sifat dasar buluh Bambu, dan Nama Bambu. Beragam pengetahuan tentang karakter bambu dalam berbagai aspeknya itu dijadikan titik tolak bagi kegiatan berfilsafat.
1. Filsafat: Pengertian, Orentasi dan Proses
1.1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat keseluruhan, yang mencakup aspek ontologi, epistemologi, etika dan estetika. Filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan karena melalui filsafat, manusia dapat mempertanyakan, menganalisis, dan mencari jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar mengenai pengetahuan, realitas, dan nilai serta kehidupan.
Terdapat banyak cabang dalam dunia filsafat. Salah satu cabangnya adalah filsafat ekologi, yang disebut Eko-filsafat. Di dalam eko-filsafat, fisafat tidak hanya diarahkan kepada kepentingan manusia atau antroposentrisme, tetapi juga diarahkan kepada setiap elemen pembentuk alam, termasuk kepada bambu. Dengan demikian, kepentingan bagi bambu yang meliputi kelestarian keberadaannya dan kemanfaatannya juga menjadi fokus perhatian di dalam eko-filsafat.
1.2. Orientasi dan Motivasi Berfilsafat
Dalam sangat banyak perkara, orang melakukan aktivitas berpikir, bersikap, bertingkah laku dan bertindak dengan berorientasi kebaikan dan kebijaksanaan. Demikian juga dalam hal mengerjakan bambu. Pengerjaan ini juga memerlukan sikap-sikap tertentu, yakni Ketekunan. Kesabaran, kedetilan dalam rangka berkarya untuk menghasilkan produk berbahan bamboo. Apalagi bila produk itu berupa rumah tradisional atau rumah vernacular, maka sangat sarat dengan muatan filosofis.
Eko-Filsafat memberikan landasan untuk menekankan pentingnya mengkonservasi sikap dan tindakan yang bijaksana terhadap bambu dan pemanfaatannya. Filsafat jug mengubah cara pandang terhadap bambu dengan bersikap dan bertindak lebih bijaksana terhadapnya. Bambu merupakan entitas yang memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya, sekali gus sebagai sumber daya yang mendukung kehidupan manusia. Manusia wajib bertanggung jawab untuk menjaga keberadaan, keberlanjutan dan kesejahteraan bambu sebagai makhluk hidup.
1.3. Proses Berfilsafat
Proses berfilsafat adalah proses berpikir secara kritis, sistematis dan mendalam untuk memahami hakikat, konsep, dan prinsip-prinsip dasar tentang kehidupan, pengetahuan, realitas, nilai dan moral. Proses ini digulir melalu tata cara atau metode yang beragam. Cara yang mana pun yang dipilih dalam berfilsafat itu akan selalu berpola atau berskema yang terdiri atas enam langkah atau tahap yang sama, yaitu pengamatan, mengajukan pertanyaan, analisis, Evaluasi, kesimpulan dan merumuskan teori (Sumantri, 2008). Masing-masing langkah ini diuraikan sebagai berikut.
Langkah Pengamatan merupakan langkah awal yang diliputi kegiatan pengamatan terhadap fenomena atau masalah yang ingin difahami. Langkah pengajuan pertanyaan dilakukan dengan mengajukan berbagai pertanyaan fundamental tentang fenomena tersebut. Sudah tentu bahwa pertanyaan itu ditujukan kepada diri sendiri dan kemudian diikuti dengan aktivitas berpikir demi mencari jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan diajukan dengan menggunakan kata tanya, baik kata tanya dasar maupun kata tanya lanjutan. Kata-tanya dasar ada tujuh pokok, yakni: Siapa, Apa, Dimana, Dengan apa, Mengapa, Bagaimana dan Bilamana. Sementara itu, kata tanya lanjutan berupa frasa: “Bila – maka” (Prayitno dan Suranto, 2018). Frasa tanya berkait tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Pengajuan pertanyaan dilakukan secara beruntun dan sistematis. Kata-tanya diajukan pertama dilanjutkan dengan pengajuan kata-tanya berikutnya.
Langkah Analisis terdiri atas tiga sub-kegiatan, yakni klasifikasi, tesis analitik dan sintesis. Sub-kegiatan klasifikasi dilakukan dengan cara mengklasifikasikan konsep-konsep terkait demi memahami hubungan antar konsep. Sub-kegiatan tesis analitik dilakukan dengan cara menganalisis konsep-konsep tersebut secara mendalam. Sub-kegiatan sintesis dilakukan dengan cara menggabungkan hasil tesis analitik untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas.
Langkah Evaluasi terdiri atas tiga sub-kegiatan, yaitu kritik, justifikasi dan refleksi. Sub-kegiatan kritik dilakukan dengan mengevaluasi argumentasi dan konsep-konsep yang dikemukakan sebagai tesis. Sub-kegiatan justifikasi dilakukan dengan cara memberikan alasan dan bukti untuk mendukung atau menentang suatu konsep. Sub-kegiatan refleksi dilakukan dengan cara memikirkan kembali hasil evaluasi.
Langkah Kesimpulan terdiri atas dua sub-kegiatan, yaitu menarik kesimpulan dan mengajukan saran atau rekomendasi. Sub-kegiatan kesimpulan dilakukan dengan cara merumuskan butir-butir kesimpulan berdasarkan hasil evaluasi. Sub-kegiatan rekomendasi dilakukan dengan cara memberikan saran demi pelakuan tindakan. Langkah pengembangan teori dilakukan dengan cara mengembangkan atau merumuskan teori atau konsep baru berdasarkan hasil kesimpulan.
Berdasarkan enam tahapan proses berfilsafat, maka dipahami tentang sifat berfilsafat, yakni kritis, sistematis, mendalam dan terbuka serta reflektif. Kritis dalam hal menganalisis informasi secara objektif. Sistematis dalam hal mengorganisasikan pemikiran secara logis. Mendalam dalam hal menganalisis konsep-konsep secara detail. Terbuka dalam hal sikap menerima ide-ide baru dan alternatif. Reflektif dalam rangka melihat kembali pemikiran dan pengalaman.
Berfilsafat memberikan empat manfaat sebagai berikut. Pertama, pemahaman yang mendalam, yakni memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan. Kedua, pengembangan kritis, yakni mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ketiga, Pengambilan keputusan, yakni membuat keputusan yang lebih tepat. Keempat, Pengembangan diri, yakni meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diri. Proses berfilsafat membutuhkan kesabaran, ketekunan dan kemauan untuk terus belajar dan memahami sesuatu hal.
Demikian proses tanya jawab yang berlangsung di dalam diri pribadi. Dengan disertai berbagai tahapan itu, maka diri pribadi itu telah melakukan proses berpikir dan berfilsafat.
2. Pendidikan Kefilsafatan
Mengingat betapa penting dan bernilainya produk-produk proses berfilsafat yang berupa tindakan arif dan bijaksana, maka siapa pun dalam aktivitas berpikirnya itu diharapkan dapat dilaksanakan secara intensif dan digulir secara sistematis dalam kerangka berfilsafat. Siapa pun diharapkan melakukan kegiatan filsafat. Proses berfilsafat ini akan semakin mudah dilakukan seiring dengan semakin seringnya seseorang itu melakukan kegiatan berfilsafat. Oleh karena kegiatan berfilsafat ini merupakan suatu ketrampilan, maka ketrampilan ini perlu dilatih. Pelatihan disediakan pada medan pendidikan formal dan non formal maupun informal.
Di dalam pendidikan formal, kemampuan berfilsafat dipupuk dan diinternalisasikan secara bertahap melalui muatan kurikulum di pendidikan tinggi. Pada Program Studi Filsafat dan/atau Filsafat dan Teologi, maka seluruh mata kuliah pendukung struktur kurikulim diarahkan pada expertasi bidang kefilsafatan. Pada program studi selain filsafat, ketrampilan ini dikenalkan dalam mata-mata kuliah bertajuk Metode Ilmiah, Metodologi Penelitian dan Filsafat Ilmu. Masing masing disajikan secara berjenjang pada program strata satu, strata dua dan strata tiga pendidikan tinggi. Di dalam pendidikan non-formal, kemampuan berfilsafat dilatihkan dalam pelatihan permenungan dan kontemplasi. Sementara itu, pada pendidikan informal, kemampuan berfilsafat ini diajarkan pada tradisi dan budaya setiap etnik di Nusantara, termasuk etnik Jawa.
Kebudayaan Jawa memiliki kekayaan budaya dan kearifan tradisional yang mengajarkan tentang sikap hidup dan tindakan bijaksana dalam menjalani kehidupan. Karena berbasis kebudayaan, maka proses berfilsafat digulir dalam khasanah bahasa Jawa. Di dalamnya, dikenal ada lima tata cara berfilsafat, yakni Jarwa Dosok, Dasa nama, Kerata Basa, Garba dan Kosok Balen. Masing masing cara ini diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Jarwa Dosok berarti berfilsafat dan mencari makna dilakukan dengan cara mengorientasikan sesuatu hal menuju ke arah posisi tinggi melangit yang penuh keluhuran, kemuliaan, kesempurnaan dan kekudusan. Dasa Nama merupakan metode berfalsafat berbasiskan pada jalur sinonimitas. Kerata-basa merupakan metode berfalsafah berbasiskan pada aspek yang bersifat kemiripan secara fonetik terhadap nama dasar. Garba merupakan metode berfalsafah dengan cara menganak-pinakkan nama dasar. Kosok Balen merupakan metode berfalsafah dengan cara pemaknaan secara terbalik dengan mengutamakan struktur MD (menerangkan – diterangkan).
3.Manfaat dan Objek Berfilsafat
Sebagaimana disebutkan, bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berefleksi dan berpikir melalui proses yang sistematis dan terstruktur. Kegiatan refleksi dan berpikir merupakan sikap dan proses pemeliharaan terhadap dunia batin diri pribadi sembari membangun dan mengisi gudang kebijaksanaan mental spiritual. Hasil-hasilnya dinyatakan berupa gambar atau ucapan atau tulisan secara naratif yang disertai dengan diksi yang presisi dan gaya bahasa yang memikat hati (Keraf, 2008). Penyajiannya dalam wujud verbal, tekstual maupun filmis.
Kekayaan yang berada di dalam gudang kebijaksanaan pribadi dapat diambil dan dimanfaatkan oleh diri pribadi pada saat untuk menjalani kehidupan, baik saat kehidupan diliputi oleh masa suka maupun masa sukar. Di samping bagi diri pribadi, butir-butir kebijasanakan pribadi ini dapat digunakan sebagai bahan komunikasi dan saran bagi anggota keluarga, sahabat, relasi dan anggota komunitas. Dengan demikian, maka siapa pun dapat memperdalam tingkat kesadaran diri dan lebih mengenali proses dan hasil pertumbuhan hidupnya secara menyeluruh, baik dalam aspek pengetahuan dan ilmu, etika dan moral serta estetika (Sumantri, 2008).
Dalam konteks objek, maka segala sesuatu dapat diposisikan sebagai objek untuk berfilsafat. Benda, fenomena, situasi, peristiwa, rasa, karsa, tindakan, bahkan pemikiran pun dapat dijadikan objek sebagai titik pangkal untuk kegiatan berfilsafat. Pendek kata, apa pun yang mangada itu dapat dijadikan objek kegiatan tersebut (Hartoko, 1988). Salah satu benda itu adalah bambu.
4. Bambu Sebagai Objek Filsafat dan Aspek-aspeknya
4.1. Bambu Sebagai Objek Filsafat
Bambu dapat ditempatkan sebagai objek filsafat. Penempatan ini didasarkan pada dua alasan berikut. Pertama, aspek kedekatan yakni bahwa bambu mengada secara sangat dekat di lokus lingkungan hidup masyarakat. Kedua, bambu merupakan tetumbuhan yang sangat mengesankan dan mengagumkan. Kesan dan kekaguman ini bersumber dari kondisi dan karakter bambu, baik sebagai vegetasi, rumpun, postur dan morfologi hagitus, karakter buluh dan keragaman jenis. Oleh karena itu, bambu merupakan tetumbuhan yang paling mudah dijangkau dan dimanfaatkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia sejak masa awal peradabannya. Kearifan budaya tradisi ini merupakan hasil dari suatu proses berpikir berbasiskan bambu.
4.2. Aspek Pada Bambu Sebagai Objek Berfilsafat
Bambu memiliki banyak aspek dan setiap aspek itu dapat ditempatkan sebagai basis untuk kegiatan berfilsafat. Aspek-aspek itu meliputi enam hal, yaitu (1) bambu sebagai vegetasi, (2) rumpun bambu, (3) karakter pertumbuhan dan morfologi bambu, (4) kondisi fisik bambu, (5) Buluh bambu, dan (6) nama Bambu. Aspek-aspek ini secara terpencar telah disajikan dalam delapan naskah yang telah disajikan sebelum penyajian naskah ini. Pada naskah ini, aspek-aspek itu disajikan secara menyatu agar terpumpun dan lebih fasilitatif sebagai objek berfilsafat.
Sebagai vegetasi, Bambu secara taksonomi dikelompokkan ke dalam kelompok rerumputan, yakni kelas Poaceae. Oleh karena ukurannya terbesar diantara seluruh anggota kelompok ini, maka bambu diberi status sebagai raja rerumputan, The King of grasses. Dalam statusnya sebagai kelompok rerumputan, maka bambu bersifat sebagai pioner. Pionir berasal dari kata Pion. sehingga berperan untuk mengawali langkah permulaan sebagai “Cucuk lampah” bagi suatu gerakan pembukaan dan pertumbuhan bagi tetumbuhan jenis lainnya.
Bambu mudah tumbuh di berbagai kondisi lingkungan, bahkan lingkungan lahan terbuka yang kering dan tandus (bared land). Pada tempat tandus itu, kehadiran bambu yang menghasilkan banyak seresah sebagai pupuk organik untuk menambah tingkat kesuburan lahan yang ditumbuhinya. Dengan demikian, keberadaannya di suatu tempat itu berperan untuk mempersiapan kehadiran teteumbuhan lainnya, bahkan juga bagi satwa liar, tak terkecuali bagi berbagai binatang kelompok serangga maupun binatang yang merayap, termasuk ular. Oleh karena itu, bambu bersifat afirmatif dan fasilitatif terhadap kehadiran berbagai tetumbuhan lain dan satwa liar di lahan yang semula tandus itu.
Bambu dapat tumbuh secara cepat, bahkan tercepat dibandingkan dengan tetumbuhan berligna lainnya. Bambu menghasilkan oksigen yang sangat diperlukan oleh seluruh binatang dan manusia, sebaliknya bambu juga menyerap karbon dioksida yang polutif bagi kehidupan seluruh binatang dan manusia. Bambu berperan sebagai penahan erosi melalui sistem perakarannya yang rizhomatis dan berserabut. Dengan demikian, Bambu berperan sangat penting bagi kehidupan keseharian oleh masyarakat dan ekosistem.
Dalam konteks aspek rumpun bambu, dipahami bahwa bambu tumbuh secara merumpun secara simpodial. Sifat tumbuh merumpun ini didukung oleh sistem perakaran rhizomatis yang masing-masing rhizome didukung oleh akar serabut yang mengumpul dan kokoh. Di dalam rumpun tersebut, sebatang bambu sebagai induk kemudian beranak pinak. Anak ditempatkan pada posisi samping bagian luar kanan kiri dan muka belakang mengelilingi sang ibu induk. Penempatan dengan pola yang sama juga berlaku oleh anak bagi sang cucu. Dengan demikian, generasi yang lebih muda selalu ditempatkan pada lingkaran bagian juring terluar pada suatu rumpun.
Setiap tahapan pertumbuhan di dalam siklus hidup bambu memiliki fungsi yang nyata, baik saat berstatus rebung, remaja, dewasa, maupun saat tua. Dengan demikian, bambu merupakan salah satu tanaman yang paling banyak manfaatnya, baik secara ekologis maupun praktis. Bambu memiliki kegunaan yang bersifat multi fungsi.
Dalam konteks aspek karakter pertumbuhan dan morfologinya, Bambu sejak siklus kehidupan awal berstatus rebung sampai dengan remaja mengalami pertumbuhan sangat cepat dan penuh ketegaran dan posisi tegak menjulang tinggi. Pada fase rebung, dirinya terbungkus seludang. Tingkat keterbungkusannya bergradasi dari kondisi yang sangat rapat menjadi semakin terbuka dan akhirnya sama sekali dalam kondisi terbuka. Keterbungkusannya sangat rapat terjadi pada saat bersatus sebagai rebung, sebaliknya kondisi terbuka pada saat mulai mencapai kedewasaan.
Saat memasuki fase remaja, batang bambu yang berbentuk silindris itu mengalami adaptasi dengan membentuk diapragma di bagian dalam sebagai penghubung antar dinding. Adaptasi dilakukan secara genetis dalam rangka membangun dan meningkatkan kekuatan fisik dan mekanis pada dirinya. Diapragma ini berupa ruas-ruas (nodia), sehingga terbentuk buku-buku (inter-nodia) yang mengakibatkan adanya bagian berongga yang di dalamnya menjadi lokasi bersemayannya udara dan air dalam tingkat kemurnian tinggi tanpa terpolusi. Sementara itu, semakin mengalami pertambahan umur dan pertumbuhan menua dari fase dewasa menuju fase tua, bambu mengalami perubahan penampilan postur, yakni semakin merunduk bagian ujungnya.
Kondisi fisik buluh bambu memiliki kelenturan dan fleksibilitas itu dipertahankan sampai tahap tua. Sejak memasuki status dewasa, kondisinya semakin menguat dan mencapai puncak kekuatan karena mengalami proses lignifikasi. Meski pun demikian, bambu tetap bersifat lentur dan sangat fleksibel dan tetap ringan dalam hal beratnya. Batang bambu bentuk morfologinya relatif lurus.
Dalam aspek nama bamboo, bambu secara umum bersinonim dengan terma Bahasa Jawa “deling dan empring”. Bambu memiliki banyak jenis dan variasi, dengan perbedaan pada bentuk batang, warna, dan ukuran. Beberapa jenis bambu yang umum tumbuh di Indonesia adalah Bambu betung (Dendrocalamus asper). Bambu apus (Gigantochloa apus). Bambu wulung (Gigantochloa verticillata), dan Bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea).
5, Hasil-Hasil Kegiatan Kefilsafatan dan Kebijaksanaan
5..1. Kebijaksanaan Filsafat Dari Aspek Vegetasi.
Sebagimana disajikan, bahwa filsafat bambu adalah sebuah konsep yang menggabungkan nilai-nilai dan prinsip hidup yang diinspirasi oleh karakteristik tanaman bambu. Nilai dan prinsip tersebut dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan, baik dalam ranah pribadi, sosial kemasyarakatan, maupun kepemimpinan. Beberapa aspek bambu beserta karakteristiknya sebagai objek berfilsafat dan hasil inspirasinya disajikan sebagai berikut.
Sebagai vegetasi, bambu berkarakter sebagai tumbuhan pioner. Status pioner merefleskikan karakter tentang enam hal berikut. Kemandirian terhadap memulai hidup yang baru. Adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Keseimbangan dalam meniti kehidupan sukar. Kesederhanaan dalam memulai kehidupan. Kesabaran dalam menjalani kehidupan, Kekuatan dalam menghadapi tantangan kehidupan, Ketekunan dalam mengulir proses kehidupan. Di samping itu, bambu sebagai vegetasi juga menyelenggarakan proses fotosintesis menghasilkan oksigen yang sangat diperlukan oleh seluruh binatang dan manusia, sebaliknya bambu juga menyerap karbon dioksida yang beracun dan polutif bagi kehidupan seluruh binatang dan manusia.
Kegiatan berfilsafat berbasis pada karakter pioner bambu ini menghasilkan butir-butir kebijaksanaan berupa beberapa nilai kehidupan, yakni bahwa hidup itu seyogyanya berorentasi pada nilai-nilai kemendirian, adaptivitas, keseimbangan, kesederhanaan, kesabaran, dan kekuatan serta ketekunan. Dengan demikian, hidup diupayakan untuk mandiri sehingga nista untuk meminta, siap beradaptasi mengarungi perubahan dan kondisi baru, mengusahakan kesimbangan dalam semua aspek hidup, mampu menghadapi tantangan dengan keteguhan dan ketekunan, memiliki keadrengan dan semangat tinggi untuk tumbuh dan berkembang demi mewujudkan potensialitas maksimumnya, tetapi sekali gus piawai untuk memilih waktu yang tepat untuk bertindak serta hidup secara ugahari dan tidak berlebihan.
Sementara itu, kegiatan berfilsafat berbasis pada karakter bambu sebagai produsen oksigen dan carbon dioksida ini menghasilkan butir-butir kebijaksanaan berupa: dukungan bagi kehidupan sehat makhluk hidup lainnya sekali gus penghindaran terhadap bahaya polusif dan ancaman kematian bagi makhluk tersebut. Di samping itu, kemampuan untuk memberi dan berbagi memberikan pengajaran betapa pentingnya sikap memberi dan berbagi kepada pihak lain.
Siklus kehidupan dan fase-fasenya serta tingkatan derajat perlindungan individu bambu di dalam rumpun. Perubahan Morfologi fisik bambu dari fase rebung menuju kedewasaan dan masa tua. Setiap fase itu berkait dengan kondisi seludang sebagai penanda terhadap tingkat keterbungkusan dan perlindungan atau sebaliknya yakni tingkat keterbukaan terhadap lingkungan.
Diketahui bahwa status fase hidup di dalam siklus kehidupan bambu yang ditentukan berdasarkan tingkat pencapaian umurnya dapat diperinci sebagai berikut. Umur maksimum 3 bulan berstatus sebagai rebung. Umur 3 hingga 12 bulan berstatus sebagai bambu muda remaja. Umur 1 hingga 2 tahun berstatus sebagai bambu dewasa. Umur 2 hingga 4 tahun berstatus sebagai bambu tua. Umur lebih dari 5 th berstatus sebagai bambu lanjut usia. Bambu hidup sebagai komunitas vegetasi yang hidup dengan konfigurasi merumpun
Kegiatan berfilsafat berbasis pada karakter rumpun bambu menghasilkan butir-butir kebijaksanaan berupa empat nilai kehidupan, yakni bahwa Rumpun bambu seakan bersifat matriarki. Bambu yang pertama kali tumbuh di tempat itu berperan sebagai ibu. Ibu beranak pinak, selalu memastikan kelangsungan hidup setiap anak-cucu sebagai anggota kelompok rumpun melalui kebijaksanaan penempatan secara konsentris bagi setiap individu baru dan membangun kerja sama secara kolektif.
Dengan demikian, maka rumpun yang berjejaring secara terstruktur berpola rizoma konsentris memperlihatkan karakter kebersatuan, kebersamaan, kekompakan dan kegotong-royongan para individu anggota sehingga mengakibatkan kekuatan yang sangat besar untuk melawan faktor luar yang merusaknya, bahkan perusak sebesar puting beliung pun dapat diredam dan dijinakkan tanpa menimbilkan kerusakan dan ketercerai-beraian.
Rumpun bersikap protektif secara terukur dari sang induk yang disesuaikan terhadap perkembangan setiap fase kehidupan generasi penerusnya. Aktualisasinya berupa sikap proteksi sangat ketat terhadap fase anak yang terlihat pada diri rebung yang diselimuti penuh dan tertutup sangat rapat oleh seludang. Karakter ini kemudian dilanjutkan dengan sikap proteksi yang terbatas secara ugahari sembari memberi kesempatan generasi penerus itu untuk semakin terbuka menghadapi tantangan lingkungan sehingga dirinya semakin kuat bagi fase kehidupan remaja. Hal ini diperlihatkan dengan cara peluruhan dalam jumlah semakin banyak seludang pembungkusnya. Karakter intensitas perlindungan ini diakhiri dengan proteksi sangat terbatas sembari memberi kesempatan untuk terbuka secara penuh menghadapi tantangan lingkungan bagi fase kehidupan dewasa sehingga individu tersebut siap untuk mandiri dan mampu menjadi ibu baru bagi generasi penerusnya.
Fasilitatif terhadap generasi penerus dilakukan dengan cara memposisikan pada bagian depan terhadap generasi penerus. Di samping itu, juga memberi dukungan posifif kepadanya yang diperlihatkan dari fenomena bahwa semakin arah waktu kekinian suatu generasi, maka generasi tersebut semakin besar dimensi fisiknya dan semakin produktif.
Dengan demikian, maka nilai filsafat sosiologis rumpun bambu. Rumpun sebagai kawanan dan komunitas yang terdiri atas banyak anggota. Komunitas menjadi lingkungan sosial terdekat sebagao tempat bersandar para anggota. Komunitas dapat memberikan kehangatan emosional dan bantuan praktis yang dibutuhkan oleh anggota. Disadari bahwa anggota sebagai makhluk sosial yang memerlukan komunitas. Di dalam komunitas, setiap anggota berkumpul dalam kehangatan sehingga dirinya tumbuh dan berkembang serta menyatukan kekuatan dan sumber dayanya serta mendapatkan keberanian untuk menghadapi kehidupan terutama pada saat diliputi oleh suasana yang amat sukar. Hal itu dapat terjadi karana komunitas menyediakan dukungan dan perlindungan oleh rasa saling memiliki serta keamanan serta memberi kekuatan kolektif dan menumbuhkan ketahanan bagi para anggotanya. Pada saat berkumpul bersama, komunitas itu saling berbagi kehangatan dan saling membimbing ke arah orientasi kehidupan yang benar, baik, beretika dan berestetika. Hasil penelitian bidang psikologi menunjukkan bahwa hubungan sosial yang akrab dan kuat dapat meningkatkan kesehatan mental, mengurangi stres, dan bahkan memperpanjang harapan hidup bagi setiap individu anggota komunitas itu.
5.2. Kebijaksanaan Filsafat Dari Aspek Fisik Buluh Dan Morfologi Batang Bambu
Berdasarkan pengujian sifat fisika dan mekanikanya, buluh bambu bersifat ringan dalam hal beratnya, tetapi sangat keras pada dinding bagian luarnya dan sangat kokoh, sangat kuat serta sangat lentur fleksibel. Proposi perbandingan antara kekuatan dan keringanan beratnya menghasilkan angka yang sangat tinggi.
Kegiatan berfilsafat berbasis pada karakter buluh menghasilkan nilai nilai kebijaksanaan sebagai berikut. Bahwa hidup itu seyogyanya dilaksanakan secara: lurus dan penuh kejujuran, memiliki basis kehidupan yang kokoh, bertindak secara ringan cekatan dan berkegiatan secara penuh berenergi, memiliki kekuatan dan kapasitas serta kapabilitas yang tinggi. Meski pun demikian, hidup diwarnai dengan sikap yang lentur dan elastis serta adaptif mempertimbangkan kondisi lingkungan sosial serta tidak mudah patah, apalagi patah arang.
Dari aspek batangnya yang beruas (bernodia) dan berbuku (internodia) yang di dalam buku itu bersemayan udara murni dan air murni. Udara murni merindukan kebebasan untuk menuju ke angkasa universal dari kondisi keterkurungannya di dalam rongga dalam buluh sepanjang hayat kehidupan vegetasi bambu.
Kegiatan berfilsafat berbasis pada keberadaan dan kerinduan udara murni ini menghasilkan nilai nilai kebijaksanaan bermuatan spiritualitas bahwa roh yang mengada di dalam diri manusia itu merindukan kebebasannya menuju ke alam raya keabadian karena status kemurnian dan kesucian yang disandangnya. Keadaan dan kecenderungan serta kerinduan yang meliput udara murni ini sama sebangun dan identik dengan keadaan, kecenderungan dan kerinduan air murni yang mengada di dalam rongga buluh bambu. Oleh karena itu, apabila ada pihak yang membantu membebaskan air murni ini dari kondisi keterkungkungannya, maka air murni ini akan menghadiahkan dirinya kepada pihak tersebut, karena pada diri air murni ini terkandung daya pengobatan alami yang mujarab berefek penyembuhan terhadap banyak jenis penyakit.
Bambu sebagai makhluk hidup yang terdiri atas ligna (ligno-selolosa) dan udara murni serta air murni ini juga menjadi sumber filsafat yang memberikan kebijaksanaan dan kesadaran bahwa manusia itu juga terdiri atas tiga subtansi, yakni badan wadag, pikiran jiwa dan roh suci.
Sementara itu, kondisi batang bambu yang semakin menua berkecenderungan untuk semakin menjulang tinggi yang pada titik tertentu akan disertai dengan karakter yang semakin merunduk pada bagian ujung batangnya, dan arah perundukannya menuju ke delapan penjuru mata angin.
Karakter ini memberikan inspirasi filsafati berupa kebijaksanaan bagi siapa pun untuk semakin hormat dan semakin menghargai kepada siapa pun seriring dengan semakin bertambahnya umur yang pada umumnya diiirngi dengan semakin kebelimpahan anugerah baik berupa harta benda, kedudukan dan kuasa maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.
5.2. Kebijaksanaan Filsafat Dari Aspek Nama Bambu
Bambu dijadikan sumber untuk menghasilkan pandangan moral sebagai pedoman perilaku orang Jawa. Disana tergambar sifat-sifat manusia yang dicerminkan lewat nilai-nilai falsafah yang ditarik dari nama Bambu. Pandangan ini merupakan local wisdom bagi etnik Jawa. Pemaknaan filsafat dibasiskan pada lima metode sebagaimana telah disebut pada bagian tengah tulisan ini. Sekurang-kurangnya ada sebelas butir nilai kebijaksanaan filsafati yang diinspirasi dalam kaitannya dengan bambu atau nama bambu. Kesebelasan ini disajikan sebagai berikut.
1.“Yen panjenengan kepengen nggayuh samudera ning rejeki dunyo lan akherat, siro kedhah dados mpring/pring”. Artinya, “Jika Anda ingin mendapatkan samudera rejeki, maka Anda harus menjadi bambu”
2.“Pring kuwi suket, ning dhuwur tur jejeg, rejeki seret, ora usah podo buneg”. Artinya “Bambu adalah rumput, tetapi berdiri tegak dan tinggi, bila rejeki sedang terhalang, hendaknya jangan terlalu suntuk”.
3. “Mpring/Pring” dimaknai sebagai “Maringi/Paringi – Maringono/Paringono – Diparingi”. Artinya: “Memberi / diberi – Memberilah/ Berikanlah – Dikasih / Dianugerahi”.
4.“Pring Dheling tegese kendhel lan eling, kendhel mergo eling, timbang grundel nganti suwing” Artninya, “Orang hidup itu haruslah berani dan tahu diri, berani karena bermawas diri, dan jangan selalu menggerutu dalam menjalani kehidupan.
5.”Pring Wuluh, urip iku tuwuh ojo mung embuh ethok-ethok ora eruh”. Artinya: “Hidup itu bertumbuh, selalu dinamis, dan janganlah bersikap acuh-tak-acuh dan pura-pura tidak tahu menahu terhadap apa yang seharusnya diketahui”.
6. “Pring Cendhani, urip iku wani ngadepi, ojo mlayu mergo wedhi.” Artinya: “Dalam menjalani hidup, harus menjadi pemberani menghadapi segala situasi, jangan melarikan diri karena takut”.
7. “Pring Kuning, urip iku wajib podo eling marang sing peparing”. Artinya: “Hidup harus selalu ingat kepada Sang Maha Pengasih”.
8,“Pring Apus, urip iku lampus, dadi wong urip ojo seneng apus-apus.”. Artinya: “Hidup itu mudah rapuh. menjadi orang itu jangan suka berbohong agar hidupnya tidak semakin rapuh”.
9.“Pring Petung, urip iku suwung, senajan suwung nanging ojo podo nganti bingung”. Artinya, “Hidup selalu dipenuhi kehampaan, meski hampa, janganlah sampai diliputi rasa bingung”.
10.“Pring Ori, urip iku bakal mati, kabeh sing urip mesti bakale mati”. Artinya: ” Hidup itu akan meningggal dan semua makhluk hidup pasti akan mati”.
11.“Menungsa podo eling, yen tekan titi wancine, bakal digotong anggo pring, bali neng ngisor lemah podo ngisor oyot pring”. Artinya: “Manusia harus ingat, bahwa bila sudah sampai pada waktunya, dirinya akan diusung dengan keranda bambu, kembali ke dalam tanah yang berada di bawah akar bambu”
6. Kesimpulan
Bambu bersama lima aspeknya, yakni: sifat tetumbuhan, karakter rumpun, kondisi fisik dan morfologi buluh, sifat dasar buluh, dan nama Bambu diposisikan sebagai objek untuk melakukan kegiatan berfilsafat. Kegiatan ini menghasilkan nilai-nilai kebijaksanaan yang dapat digunakan sebagai pedomen hidup untuk mewujudkan kesatuan, kesabaran, ketakunan dan kekuatan serta kebermanfaatan untuk menuju pada arah kebenaran, kebaikan, keindahan, keluhuran, dan kekudusan bagi diri sendiri sebagai pribadi, anggota komunitas dan warga masyarakat.
Sumber Pustaka
Hartoko, Dick (penterjemah). 1988. Orientasi di Alam filsafat: Sebuah Pengantar Dalam Permasalahan Filsafat. Author Peursen, C. A. van. Penerbit. Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorrys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Gramedia. Jakarta.
Prayitno, T.A. dan Suranto, Y. 2018. Metodologi Penelitian Hasil Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sumantri, Jujun S.S. 2008. Filsafat Ilmu. Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.