KAYU BUDAYA: CAKUPAN, PENGELOMPOKAN DAN JENIS-JENIS KAYU | Bagian 1

KAYU BUDAYA: CAKUPAN, PENGELOMPOKAN DAN JENIS-JENIS KAYU | Bagian 1

WhatsApp
Twitter
Facebook
Telegram
Picture of oleh Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.

oleh Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.

Perintis dan Pengembang Kajian Kayu Budaya Nusantara

Pengantar
Naskah ini merupakan tulisan seri kedua untuk disajikan dalam website Barahmus. Berdasarkan tulisan pertama yang disajikan pada minggu yang lalu maka topik pada tulisan kedua ini akan menyajikan bahasan tentang Cakupan atau lawas pengelompokan dan Jenis-Jenis Kayu Budaya Tradisional.
Dalam rangka mempermudah bagi pembaca untuk memahami isinya maka tulisan pada naskah kedua ini dikemas dalam sistematika yang tersusun atas sepuluh sub bab yang diurutan dengan urutan sebagai berikut: (1) Teori Evolusi (2) Evolusi Alam Materi (3) Evolusi Kebudayaan (4) Taksonomi Tetumbuhan (5) Pengelompokan dan Jenis Tetumbuhan (6) Spermatophyta Berbiji Tertutup yang Monokotil (7) Spermatophyta Berbiji Tertutup yang Dikotil (8) Pengelompokan dan Jenis Tumbuhan (9) Analisis Kimia Material Kayu Budaya (10) Pengokupasian Makna Kayu dan (11) Penutup. Dalam urutan yang demikian ini maka Teori Evolusi sebagai sub-bab pertama disajikan sebagai berikut.

  1. Teori Evolusi
    Teori Evolusi merupakan konsep yang membahas tentang urutan secara khronologis terhadap keberadaan segala sesuatu yang diurutkan berdasarkan saat atau periode kehadiran dan eksistensi sesuatu tersebut. Di dalam lini evolusi ini keberadaan entitas yang mengada diurutkan berdasarkan pada proses perkembangan dan perubahan yang berlangsung. Pengurutannya dimulai dari entitas yang satu dalam kondisinya yang lebih sederhana menuju ke entitas berikutnya yang berkondisi semakin lebih lengkap dan semakin lebih kompleks.
    Pada konteks tulisan ini evolusi disajikan dan dipilah menjadi dua bahasan yakni evolusi alam materi dan evolusi kebudayaan. Masing masing disajikan secara berurutan pada dua sub-bab sebagai berikut. Evolusi alam merupakan evolusi yang berkaitan dengan entitas alam khususnya yang berupa materi dan energi.

  2. Evolusi Alam Materi
    Evolusi alam dapat ditilik dari dua sudut pandang yakni dari perspektif religi dan perspektif ilmu pengetahuan atau science. Perspektif religi memberikan gambaran tentang kronologi penciptaan alam yang tertuliskan di dalam kitab suci. Sementara itu sudut pandang keilmuan memberikan fakta-fakta ilmiah yang dikemas dalam konsep evolusi yang dirintis beberapa ilmuwan dan kemudian dipuncaki oleh ilmuwan Charles Robert Darwin. Charles R. Darwin memuncakinya melalui penerbitan bukunya pada tahun 1859 bertajuk On the Origin of Species by means natural selection (Anonimus 2024.a).
    Terhadap evolusi alam ini tinjauan dari perspektif religi tidak bertolak-belakang dengan tinjauan dari perspektif ilmu scientifik bahkan dalam hal tertentu keduanya bersesuaian dan bertindan. Keduanya secara garis besar menarasikan bahwa evolusi itu menyangkut tahapan keberadaan beberapa entitas di bumi yang dapat diurutkan menjadi enam entitas yakni Cahaya (nur), air, tanah, tetumbuhan, binatang, dan manusia.
    Berdasarkan teori evolusi tersebut maka dapat dipahami bahwa keberadaan dan kehadiran manusia pada lingkungan alam ini berada pada urutan terakhir yakni setelah keberadaan alam non hayati yang berupa cahaya, air, serta tanah dan juga setelah keberadaan alam hayati yang berupa tetumbuhan dan binatang. Dengan kata lain manusia pada generasi tahap awal itu berada dan hidup di dalam lingkungan alami bersama dengan tetumbuhan dan hewan pada suatu bentang alam tertentu. Bentang alam ini dalam konteks klasifikasi fisik geografis dapat berupa kawasan yang berronakan: tundra, savana, dan hutan.
    Pada generasi tahap awal ini manusia memanfaatkan berbagai bagian dari alam hayati baik tetumbuhan maupun binatang. Material hayati ini digunakannya sebagai material budaya dalam rangka mempertahankan hidup dan menjalani proses kehidupannya.
    Sebagai makhluk hidup manusia generasi awal mengalami perkembangan dalam hal jumlah warga. Bersamaan dengan pertambahan jumlah itu kondisi lingkungan yang menjadi lokasi hidupnya itu semakin lama juga semakin mengalami penurunan dalam hal kelimpahannya. Hal ini mengakibatkan kapasitas daya dukungnya juga semakin menurun sehingga daya dukungannya juga menurun bagi kehidupan seluruh warga. Bersama dengan sifat manusia yang senang bepergian maka kedua kondisi itu memicu terjadinya perpindahan oleh sebagian warga. Perpindahan ini berlangsung dari satu tempat yang lama menuju ke tempat lainnya yang baru. Dalam hal jarak antara lokasi tempat yang lama dan lokasi yang baru. Perpindahan tersebut dapat berlangsung pada jarak yang dekat menengah maupun jauh atau bahkan sangat jauh. Perpindahan dalam jarak yang jauh atau sangat jauh ini kemudian disebut Migrasi.
    Berkait dengan migrasi ini disajikan sebuah hipotesis yang sangat terkenal dan mendominasi teori pada ranah ontologis yakni “Out of Africa”. “Out of Africa” merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa manusia modern yakni Homo sapiens melakukan migrasi dari tempal asalnya di Afrika menuju dan menyebar ke berbagai wilayah dan bagian lain di dunia. Migrasi berlangsung pada sekitar 200.000 hingga 300.000 tahun yang lalu. Dalam peristiwa migrasi manusia Homo sapiens menyebar ke wilayah-wilayah: Timur Tengah, Asia, dan Nusantara. Selain itu mereka juga bermigrasi ke Eropa, Oseania, dan Amerika (Anonimus 2024.b).
    Pada kawasan tempat hidupnya yang baru masing-masing kelompok masyarakat migran menjalani hidup dengan pola dan tata cara yang baru. Tata cara menjalani proses hidup ini selalu berubah seiring dengan perubahan kondisi lingkungan alam tempat hidupnya. Di samping itu perubahan ini juga disebabkan oleh adanya peningkatan kemampuan manusia dalam hal menjalani proses hidup kesehariannya. Perubahan tata cara menjalani kehidupan tersebut berlangsung secara gradual dan bertahap tetapi berkelanjutan mulai dari generasi awal sampai dengan generasi terkini. Perubahan yang demikian ini secara keseluruhan disebut Evolusi Kebudayaan. Evolusi Kebudayaan sebagai bagian dari naskah ini akan disajikan secara singkat dalam kemasan pada sub bab berikut.

  3. Evolusi Kebudayaan
    Sebagaimana disebutkan bahwa ada satuan masyarakat yang datang dan hidup dalam lingkungan alam yang unik pada suatu kawasan baru akibat proses migrasi. Kawasan baru itu pada umumnya berupa hutan yang bertipe tertentu baik sebagai hutan tropis basah hutan munson hutan bertipe savana maupun hutan temperata.
    Pada kawasan hutan tersebut mereka selalu memilih tempat hidup yang berdekatan dengan sungai sebagai sumber air baik sungai yang berdekatan dengan pantai laut maupun yang berjauhan darinya. Pemilihan ini didasarkan pada realitas bahwa air merupakan salah satu materi yang diperlukan secara fisiologis untuk mempertahankan hidup. Sementara itu sungai merupakan prasarana transportasi untuk menjalani kehidupannya.
    Dalam hal evolusi kebudayaan para ilmuwan meniliknya terutama berfokus pada sistem mata pencaharian. Dalam hal ini mata pencaharian dipilah menjadi dua segmen besar yakni kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Menurut anthropolog Dr. Koentjaraningrat kebudayaan tradisional itu mengalami perkembangan dan pada umumnya dibedakan menjadi berapa tahap yaitu kebudayaan-kebudayaan: berburu dan meramu menangkap ikan beternak bercocok tanam di ladang dan akhirnya di sawah tadah hujan (Anonimus 2024.c).
    Sementara itu pada kebudayaan modern kegiatan hidup dan mata pencahariannya dilakukan dengan menggunakan peralatan yang bermesin. Kebudayaan modern ini diawali oleh kebudayaan industri yang dimulai pada tahun 1876 yakni pada saat pengembangan mesin uap hasil karya seorang insinyur berkebangsaan Skotlandia yakni James Watt. Mesin uap dimanfaatkan secara intensif oleh Negara Enggris kemudian diikuti secara masif oleh negara negara di benua Eropa. Kondisi demikian memicu terjadinya proses revolusi industri (Anonimus 2024.d). Kebudayaan modern ini berkembang menjadi kebudayaan post modern dan berkembang lagi menjadi kebudayaan informasi digital sebagaimana yang telah menjadi pola hidup manusia sejak dekade terakhir pada melinium ketiga sampai dengan saat sekarang ini. Sebagaimana disebutkan, bahwa berdasarkan teori evolusi kehidupan, manusia secara khronologis berposisi sebagai entitas terakhir pada lini proses evolusi. Hal tersebut membawa suatu konsekuensi bahwa manusia pada awal peradabannya itu bertempat tinggal dan hidup di dalam lingkungan alam yang berhutan. Berdasarkan realitas ini, maka penulis mengajukan sebuah adagium bahwa Hutan merupakan induk kebudayaanDengan demikian, Hutan merupakan suatu ekosistem yang mewujud sebagai hasil interaksi antara komponen-komponen yang terdiri atas tanah, air, sinar matahari, udara, dan tetumbuhan serta berbagai jenis hewan. Tetumbuhan merupakan komponen yang medominasi ekosistem tersebut. Tetumbuhan juga mengalami evolusi yang tahapannya dapat ditelusuri melalui ilmu Taksonomi Tetumbuhan. Hasil penelusurannya disajikan dalam sub bab berikut.

Bersambung…