
oleh Dr. Ir. Yustinus Suranto, M.P.
Perintis dan Pengembang Kajian Kayu Budaya Nusantara
Pengantar
Naskah ini merupakan tulisan seri ketiga untuk disajikan dalam website Barahmus. Berdasarkan tulisan kedua yang disajikan pada minggu yang lalu, maka topik pada tulisan yang ketiga ini adalah topik bahasan tentang Keberagaman Sifat dan Karakter Kayu Budaya Tradisional serta Faktor-Faktor Penentunya. Dalam upaya untuk mempermudah bagi pembaca untuk memahami isinya, maka tulisan pada naskah ini dikemas dalam sistematika yang tersusun atas tiga bab dan masing-masing bab akan diperinci menjadi sub-bab. Secara keseluruhan, struktur naskah ini disajikan dengan urutan sebagai berikut: Bab (1) Berbagai Faktor Penentu. Bab (2) Parameter Perisalah Sifat dan Karakter Kayu. Bab terakhir adalah (3) Penutup.
Bab 1 akan mencakup 5 sub-bab, yaitu: (1.1) Faktor Lingkungan, (1.2) faktor jenis (spesies), (1.3) faktor genetis, dan (1.4) faktor fisiologi tetumbuhan, serta (1.5) faktor umur. Bab 2 akan mencakup dua sub-bab, yakni: (2.1). Sifat Dasar Kayu, dan (2.2) Sifat Pengolahan Kayu. Dalam urutan yang demikian ini, maka Bab 1. Berbagai Faktor Penentu disajikan sebagai berikut.
1. Berbagai Faktor Penentu Sifat Kayu
Sifat dan karakter kayu budaya dipengaruhi oleh sangat banyak faktor, Faktor-faktor ini menjadi sumber pembeda terhadap sifat dan karakter kayu budaya. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok besar, yaitu (1) faktor lingkungan, (2) faktor jenis (spesies), (3) faktor genetis, dan (4) faktor fisiologi tetumbuhan, serta (5) faktor umur. Masing-masing faktor itu disajikan secara berurutan pada sub-bab sebagai berikut.
1.1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan serangkaian berbagai hal yang abiotis maupun yang biotis yang mengada sebagai ruang hidup yang melingkupi suatu tetumbuhan. Faktor lingkungan mencakupi dan dibedakan menjadi empat sub-faktor yaitu: tanah, air, cuaca dan iklim, serta sosiologi tumbuhan. Oleh karena adanya sub-sub faktor itu, maka uraian lebih lanjut terhadap masing-masing sub-faktor itu akan dilakukan secara terpisah pada sub-bab tersendiri, Berkait dengan sub-faktor tanah, maka disajikan uraian sebagai berikut.
1.1.1. Tanah
Tanah merupakan produk yang berasal dari bebatuan. Oleh karena jenis bebatuan itu cukup beragam maka jenis tanah yang dihasilkannya pun juga cukup beragam. Proses perubahan dari batu menjadi tanah itu memerlukan waktu yang durasinya amat sangat panjang, yakni berpuluh bahkan beratus tahun. Oleh karena durasi pembentukannya yang sangat panjang itu, maka tanah merupakan sumberdaya alam yang bernilai sangat tinggi. Selain disebabkan karena durasi pembentukannya yang amat sangat lama itu, nilai tinggi tanah juga disebabkan karena tanah menjadi tempat penjangkaran utama bagi tetumbuhan untuk menetap, bertumbuh dan berkembang secara permanen pada tanah tersebut.
Sebagaimana disebutkan pada alinea di atas bahwa tanah itu sangat beragam dalam hal jenisnya (Brady, 1981). Jenis tanah dapat dibedakan menjadi 12 macam. Ke-12 macam jenis tanah itu meliputi tanah-tanah: Andosol (Vulkanik), Aluvial, Regosol, Latosol, Laterit, Litosol, Organosol, Grumusol, Mediteran, Rendzina, Podsolik, Podsolik Merah Kuning. Setiap jenis tanah memiliki tingkat kesuburan tertentu yang unik. Tingkat kesuburan ini menggambarkan tingkat ketersediaan berbagai unsur hara yang diperlukan oleh tetumbuhan tersebut dalam rangka untuk menjalani hidup dan menyelenggarakan proses pertumbuhannya.
Unsur hara dapat dikelompokkan berdasarkan dua cara pengelompokan, yakni pengelompokan berdasarkan peringkat keurgensian kebutuhan dan pengelompokkan berdasarkan jumlah kebutuhan. Berdasarkan peringkat keurgensian kebutuhannya, unsur hara oleh tetumbuhan itu dibedakan menjadi dua kelompok lagi, yaitu unsur hara primer dan unsur sekonder. Sementara itu, berdasarkan jumlah kebutuhan nya, unsur hara ini dibedakan lebih lanjut menjadi dua kelompok, yaitu kelompok unsur hara makro dan unsur hara mikro (Donahue, 1958).
Unsur hara primer merupakan unsur hara utama yang ketersediaannya bersifat wajib bagi tetumbuhan. Sebaliknya, unsur hara sekonder adalah unsur hara yang ketersedaiannya bersifat komplementer bagi tetumbuhan. Status komplementer ini berarti bahwa keberadaan dan ketersediaan unsur hara kelompok sekonder ini merupakan bonus yang bersifat fasilitatif dan “kenikmatan” bagi tetumbuhan itu untuk menjalani proses kehidupannya.
Unsur hara makro adalah unsur hara yang selalu diperlukan dalam jumlah yang banyak oleh tetumbuhan. Sementara itu, unsur hara mikro adalah unsur hara yang juga selalu diperlukan meskipun dalam jumlah yang sedikit saja oleh tetumbuhan. Apabila ditinjau lebih lanjut tentang jenis-jenis hara yang tercakup dalam setiap kelompok itu, maka uraian detailnya disajikan sebagai berikut.
Unsur hara makro meliputi 6 unsur hara, yakni: Nitrogen (N), Pospor (P), Kalium (K), dan Karbon (C) , Hidrogen (H) , dan Oksigen (O). Pada pihak lain, insur hara mikro antara lain: Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Tembaga (Cu) , Boran (B), Molibdenium (Mo) dan Chlor (Cl). Sementara itu, kelompok unsur hara sekunder meliputi tiga jenis, yaitu: Calcium (Ca), Magnesium (Mg), dan Sulfur (S). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur hara makro, unsur hara sekunder maupun unsur hara mikro merupakan kelompok unsur hara yang diperlukan oleh tetumbuhan. Semakin tersedia secara lengkap unsur hara makro dan unsur hara mikro serta unsur hara sekonder, maka tanah itu dinyatakan sebagai tanah yang semakin subur. Tetumbuhan yang tumbuh pada tanah yang semakin subur, maka proses pertumbuhan tetumbuhan itu akan berlangsung semakin “adreng” atau semakin “vigor” dan semakin bersemangat. Sebaliknya, semakin tidak tersedia unsur hara, terutama unsur hara makro dan unsur hara mikro, maka tetumbuhan itu akan mengalami perlambatan bahkan kesulitan untuk bertumbuh. Semakin berada dalam kondisi ketidak-tersediaan unsur hara tersebut maka tetumbuhan tersebut akan mengalami kondisi kerdil atau “Stunting” atau “Kunthet“. Berdasarkan uraian di atas, maka kondisi tanah yang berpengaruh terhadap tetumbuhan ini dapat ditelusuri dari dua aspek, yaitu jenis tanah dan tingkat kesuburannya.
Demikian urian singkat tentang sub-faktor Tanah. Setelah menyajikan uraian tentang sub-faktor tanah, maka tiba urutannya untuk menyajikan uraian tentang sub-faktor Air. Uraiannya disajikan pada sub-bab berikut.
1.1.2. Air
Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh seluruh makhluk hidup, termasuk makhluk hidup berdevisio tetumbuhan. Air ini tersedia di bumi melalui siklus hidrologis. Dalam konteks ini, air turun dari awan menuju ke bumi sebagai air hujan. Air hujan sebagian besar akan mengalir dan berada di atas permukaan tanah dan sebagian kecil lainnya akan meresap dan masuk ke dalam tanah. Air yang mengalir dan berada di permukaan tanah akan berupa aliran air sungai, danau, dan rawa serta laut. Air ini secara keseluruhan disebut Air Permukaan. Sementara itu, sebagian kecil air hujan yang meresap ke dalam tanah disebut air tanah. Di dalam realtitasnya, air tanah itu berada dalam lapisan lapisan tanah atau bebatuan yang kesemuanya berada di bawah permukaan tanah, Oleh karenanya, air tanah juga sering disebut Air Bawah Tanah.
Di antara kedua jenis air itu, air tanah berperan lebih besar dalam hal menyangga kehidupan tetumbuhan daripada air pemukaan. Oleh karena itu, air tanah sangat penting bagi tetumbuhan. Air tanah yang berada di dekat perakaran tetumbuhan akan diserap oleh tetumbuhan itu melalui proses fisiologis tetumbuhan yang disebut penyerapan air. Proses penyerapan air dipicu oleh proses fisiologis lainnya, yakni proses evapotranspirasi. Kata “Evapotranspirasi” merupakan hasil gabungan dua kata, yaitu kata “Evaporasi” dan kata “Transpirasi“.
Transpirasi adalah proses penguapan air dari dalam tubuh tetumbuhan menuju ke atmosfer. Transpirasi berlangsung melalui stomata daun yang terbuka akibat terjadinya pertukaran oksigen dan karbon dioksida melalui stomata tersebut. Mengingat bahwa di dalam proses transpirasi ini juga terjadi proses penguapan air atau evaporasi, maka kedua proses ini disebut evapotranspirasi. Tetumbuhan mengevaporasikan air menuju ke atmosfir yang melingkupi tetumbuhan tersebut.
Di dalam konteks air tanah maka ada dua hal penting bagi tetumbuhan, yakni ketersediaan dan kualitas air tanah. Oleh karena itu, tingkat ketersediaan air tanah merupakan hal yang sangat penting bagi tetumbuhan. Dalam hal ketersediaan ini, maka tingkat ketersediaannya dikatagorisasikan berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kriteria ini, maka suatu kondisi air tanah dapat dikatagorikan ke dalam tiga status, yaitu (1) air tanah dalam kondisi kurang tersedia, atau (2) air tanah tersedia dalam kondisi ugahari atau sedang-sedang saja, atau (3) air tanah tersedia dalam kondisi yang cukup bagi tetumbuhan. Air tanah dinyatakan dalam kondisi kurang jika ketersediaan air tanah itu kurang dari 40% terhadap tingkat kebutuhan air yang diperlukan oleh tetumbuhan. Air tanah dalam kondisi ugahari jika ketersediaan air tanah antara 40% – 60%. Kondisi air tanah dinyatakan dalam kondisi cukup jika ketersediaan air tanah lebih dari 60% terhadap tingkat kebutuhan air yang diperlukan oleh tetumbuhan tersebut.
Di samping tingkat ketersediaannya, kondisi air tanah juga dilihat dari aspek kualitas air tanah. Dalam hal ini, kualitas air tanah wajib bersesuaian dengan persyaratan yang diperlukan oleh tetumbuhan. Dalam konteks ini, Air tanah tidak dalam kondisi tercemar, karena pencemaran yang terjadi pada tingkat ambang batas tertentu akan dapat mengakibatkan tetumbuhan itu mengalami kematian. Untuk memastikan tingkat kualitas air tanah yang memenuhi persyaratan sehat bagi tetumbuhan, maka air tanah perlu dilakukan pengujian, baik pengujian secara fisikawi maupun pengujian secara kimiawi. Air tanah harus berstatus lolos uji terhadap kedua jenis pengujian tersebut. Salah satu jenis pengujian yang utama adalah pengujian yang mengukur tentang Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) atau Biochemical Oxygen Demand (BOD). BOD merupakan parameter yang menggambarkan tentang jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi atau menguraikan senyawa organik berupa karbon (C), hydrogen (H), nitrogen (N), oksiben (O) yang terdapat dalam lingkungan air. Air yang yang tidak terpolusi biasanya mempunyai BOD 2 mg/l. Sementara itu, air yang menerima buangan limbah yang berpotensi untuk mencemari air tersebut harus mempunyai BOD minimal 10 mg/l.
Sebagaimana disebutkan, bahwa air tanah wajib tersedia secara cukup bagi tetumbuhan. Apabila air tanah itu tidak tersedia secara cukup, maka persediaannya perlu dipertambahkan pada kawasan atau lokus keberadaan tetumbuhan tersebut. Proses pertambahannya dilakukan dengan cara pengaliran air yang berstatus sebagai air permukaan, baik yang berada di sungai, danau, maupun embung menuju kepada lokus yang dimaksud.
Demikian uraian tentang sub-faktor Air. Setelah menyajikan uraian tentang sub-faktor air, maka uraian selanjutnya berfokus pada sub-faktor cuaca dan iklim. Uraiannya disajikan pada sub-bab berikut.
1.1.3. Cuaca dan Iklim
Selain tanah dan air, faktor cuaca dan iklim juga berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu. Cuaca berkaitan dengan kondisi harian di suatu wilayah, seperti suhu, kelembaban, angin, dan curah hujan. Sementara itu, iklim mencerminkan pola cuaca dalam jangka waktu panjang.
Dalam konteks tetumbuhan, suhu sangat memengaruhi proses fotosintesis dan pertumbuhan. Pada suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, fotosintesis akan terganggu, dan akibatnya pertumbuhan menjadi lambat. Kelembaban udara juga berperan penting dalam menjaga kandungan air di dalam tetumbuhan. Curah hujan yang cukup akan membantu memenuhi kebutuhan air bagi tetumbuhan, tetapi curah hujan yang berlebihan dapat menyebabkan genangan dan merusak sistem perakaran.
Selain itu, angin juga berpengaruh pada ketahanan mekanis kayu. Angin yang terlalu kencang dapat menyebabkan patahnya dahan atau batang pohon. Oleh karena itu, cuaca dan iklim menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam menentukan sifat kayu budaya.
1.1.4. Sosiologi Tetumbuhan
Sosiologi tumbuhan adalah faktor yang berkaitan dengan interaksi tetumbuhan satu sama lain dalam suatu ekosistem. Interaksi antar tetumbuhan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kayu. Misalnya, dalam hutan tropis, terdapat banyak jenis tetumbuhan yang saling bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari, nutrisi, dan air. Tetumbuhan yang tidak mendapatkan cahaya yang cukup mungkin akan mengalami pertumbuhan yang terhambat, sehingga sifat kayunya bisa berbeda dengan tetumbuhan yang tumbuh di tempat terbuka dengan cahaya yang melimpah.
Sebuah contoh disajikan disini. Semisal pada suatu kawasan tertentu yang ditumbuhi oleh beragam tetumbuhan tetapi didominasi oleh tumbuhan Sengon. Sementara itu, pada suatu kawasan tertentu yang lain ditumbuhi juga oleh beragam jenis tetumbuhan tetapi didominasi oleh tumbuhan jenis Mahoni. Apabila pada kedua kawasan yang berbeda sebagaimana disebutkan itu terdapat tetumbuhan berjenis tertentu, misalnya jenis Kemuning, maka pertumbuhan Kemuning itu akan lebih fasilitatif apabila hidup dalam kawasan yang didominasi oleh jenis pohon Sengon daripada dalam kawasan yang didominasi oleh pohon Mahoni. Oleh karena itu, kedua pohon Kemuning ini akan menghasilkan kayu yang sifat dan tabiat kayunya berbeda antara Kemuning yang berdekatan dengan Sengon dibandingkan dengan Kemuning yang hidupnya berdekatan dengan Mahoni.
Uraian pada sub-bab sosiologi tetumbuhan tersebut merupakan bagian akhir dari penjelasan tentang bab yang mengupas tentang faktor Lingkugan. Uraian tersebut akan disusul oleh faktor Jenis Tetumbuhan atau Spesies. Uraian tentang faktor Jenis Tetumbuhan atau Spesies disajikan pada sub-bab berikut.
1.2. Faktor Jenis (Spesies)
Sebagaimana disebutkan pada tulisan yang baru lalu, bahwa secara taksonomis tetumbuhan kayu budaya itu dibedakan menjadi empat kelompok besar, yakni kelompok: tetumbuhan Perbambuan, tetumbuhan Rerotanan, tetumbuhan Pepaleman alau gelugu, serta tetumbuhan Pepohonan. Masing-masing kelompok tetumbuhan tersebut juga mencakup banyak jenis (species). Sebagai percontohan, di sini akan disajikan dua spesies yang berukuran paling ekstrim pada masing masing kelompok tetumbuhan tersebut. Dalam hal perbambuan, disajikan disini bambu Gendani dan bambu Betung. Dalam hal rerotanan, disajikan disini rotan Irit dan rotan Manau. Dalam hal pepaleman, disajikan disini batang Pinang dan batang Kelapa. Dalam hal pepohonan, disajikan disini batang Tesek.dan batang berupa balak Jati.
Berdasarkan penampilan fisiknya, kedua jenis tetumbuhan yang disajikan pada masing-masing kelompok tetumbuhan itu sangat jelas berbeda, khususnya berkaitan dengan ukuran diameter batang. Dalam konteks ini, jenis tetumbuhan yang disebut pertama memiliki diameter batang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan jenis tetumbuhan yang disebut kedua. Dengan demikian, sangat mudah dipahami bahwa jenis yang berbeda itu akan memiliki sifat dan karakter kayu yang berbeda juga. Oleh karenanya, maka bambu Gendani sudah jelas berbeda dalam hal sifat dan karakternya terhadap bambu Betung. Demikian pula terjadi perbedaan antara dalam hal sifat dan karakter pada kayu itu antara: rotan Irit terhadap rotan Manau, batang Pinang terhadap batang Kelapa, dan batang Tesek terhadap batang Jati. Berdasarkan penjelasan di atas, sangat jelas bahwa spesies menjadi faktor penentu yang berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu yang dihasilkannya sebagai material budaya.
Demikian uraian yang berkait dengan sub-bab Faktor Jenis sebagai faktor kedua. Uraian tersebut akan disusul oleh faktor ketiga yakni faktor Genetis. Uraian tentang faktor genetis ini disajikan pada sub-bab berikut.
1.3. Faktor Genetis
Faktor Genetis merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu (Zobel, dan Buijtenen, 1989). Untuk menyajikan gambaran tentang pengaruh faktor genetis terhadap sifat dan karakter kayu sebagai material budaya, maka di sini disajikan dua contoh spesies yang masing-masing berada pada dua kelompok tetumbuhan yang berbeda. Kedua contoh spesies itu yaitu jenis Jati dan jenis bambu Betung.
Dalam konteks jenis Jati, maka dikenal secara umum bahwa Jati itu sekurang-kurangnya memiliki enam ragam varietas. Keenam ragam varietas itu meliputi: Jati doreng, Jati duri, Jati kapur, Jati keluwih, Jati lengo dan Jati yang normal. Keenam ragam varietas Jati ini memiliki penampilan fisik kayu yang saling berbeda, baik dalam hal warna, kilap, rona dan pola penampilan dekoratif serta aroma baunya.
Keberadaan ragam varietas itu sudah tentu disebabkan oleh karena masing-masing ragam varietas tersebut memiliki faktor genetis yang berbeda beda secara alamiah. Dengan demikian, setiap varietas tersebut sudah tentu memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda pula pada kayu yang dihasilkannya. Terhadap masing-masing varietas yang berbeda secara alami itu juga telah dijadikan obyek untuk dikenai tindakan perekayasaan genetika. Pada masa kini, perekayaan genetis terhadap varietas Jati yang normal itu bahkan telah mencapai tingkat perekayasaan pada tahapan yang ketiga. Dengan demikian, dikenal pada saat ini sekurang kurangnya terdapat dua varietas jati hasil rekayasa, yakni Jati Emas dan Jati Plus. Jati hasil rekayasa itu hadir mendampingi Jati normal yang distatuskan sebagai materi dasar dan obyek untuk dikenakan perlakuan rekayasa genetis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Jati murni, Jati emas dan Jati JPP itu sudah tentu memiliki sifat dan karakter yang saling berbeda pada masing-masing kayu Jati tersebut.
Sementara itu, dalam konteks perekayasaan terhadap bambu Betung, ada sebuah perusahaan suasta yang bekerja dalam bidang perekayasaan ini. Perusahaan tersebut berada di Kawasan Kabupaten Sleman, tepatnya di lingkungan kawasan Kaliurang.. Perusahaan tersebut menerapkan teknologi perekayasaan dalam bidang pembibitan bambu Betung. Dengan menerapkan teknologi perekayasaan, perusahaan ini menghasilkan bibit bambu Betung dan menjual secara domenstik maupun eksport atas bibit yang dihasilkannya. Di samping menjual bibit, perusahaan ini juga menjual jasa untuk melakukan penanaman dan penghijauan melalui kegiatan penanaman bambu Betung yang dihasilkannya pada suatu kawasan yang perlu direboisasi. Perusahaan ini bahkan bersedia untuk berusaha secara bersama dengan pihak mana pun untuk berbisnis melalui pola pengelolaan bersama pada suatu kawasan untuk dijadikan hutan bambu Betung dan nantinya akan menjual produknya yang berupa buluh bambu Betung. Perusahaan ini telah membuktikan bahwa bambu Betung yang dihasilkannya melalui penerapan rekayasa genetika itu memiliki sifat dan karakter bambu yang berbeda terhadap bambu Betung yang bertumbuh secara alami.
Demikian uraian yang berkait dengan sub-bab Faktor Genetis sebagai faktor ketiga. Uraian tersebut akan disusul oleh faktor keempat, yakni faktor fisiologi tetumbuhan. Uraian tentang faktor fisiologi ini disajikan pada sub-bab berikut.
1.4. Faktor Fisiologi Tetumbuhan
Fisiologi tetumbuhan merupakan rangkuman berbagai proses yang berlangsung di dalam tubuh tetumbuhan sebagai makhluk hidup. Proses-proses yang terangkum di dalamnya ini antara lain mencakup proses proses: penguapan air, penyerapan air dan unsur hara, pengangkutan air dan garam mineral dari akar ke daun, proses penyerapan gas carbon dioksida oleh dedaunan, proses penangkapan sinar matahari, proses fotosintesis , proses pengiriman hasil fotosintesis menuju ke seluruh bagian tubuh tetumbuhan, dan proses sintesis hasil fotosintesis menjadi komponen kimia lignoselulosa penyusun kayu.
Penguapan air merupakan proses pelepasan kepada atmosfir terhadap air yang semula dikandung oleh tubuh tetumbuhan. Pelepasan ini berlangsung dari seluruh bagian permukaan tubuh tetumbuhan, terutama dari bagian permukaan daun. Sementara itu, penyerapan air dan unsur hara dan mineral dari dalam tanah dilaksanakan oleh akar, khususnya pada bagian-bagian ujung perakaran, Proses pengangkutan air dan garam mineral dari akar menuju ke daun dilaksanakan oleh berkas pengangkutan, khususnya bagian xylem. Proses penyerapan carbon dioksida dilaksanakan oleh dedaunan melalui stoma pada daun Proses fotosintesis dilaksanakan oleh daun khususnya pada bagian yang berkhlorophil. Proses pengiriman hasil fotosintesis dari daun menuju ke seluruh bagian tubuh tetumbuhan dilakukan melalui bagian floem. Proses sintesis menjadi komponen kimia penyusun kayu yang berlangsung pada bagian jaringan meristem.
Intensitas proses yang berlangsung pada masing-masing proses fisiologis ini sangat beragam dalam konteks lini waktu. Pada suatu saat tertentu, terjadi proses fisiologis yang berlangsung secara cepat. Sebaliknya, pada suatu saat yang lain, proses ini berlangsung secara sangat lambat. Dengan kata lain, setiap proses fisiologis mengalami dinamika seiring dengan perjalanan waktu. Di samping aspek waktu, dinamika proses fisiologis ini juga terjadi mengikuti status perkembangan tetumbuhan tersebut. Dinamika ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang selalu berubah-ubah setiap waktu, sedangkan cuaca yang berutah-ubah ini menjadi habitat dan lingkungan tempat tumbuhnya tetumbuhan itu sehingga cuaca ini selalu merengkuh dan melingkupi diri tetumbuhan. Dinamika fisiologis itu selalu ditampilkan secara lugas tanpa rekayasa oleh sang tetumbuhan tersebut. Dalam konteks ini, penampilannya antara lain dalam wujud kondisi fisik yang kadang-kadang bertajuk rimbun beronakan warna hijau sepenuhnya. Sebaliknya, penampilan terumbuhan ini kadang-kadang dalam wujud meranggas sepenuhnya sehingga tetumbuhan ini bahkan tanpa dedaunan sama sekali.
Kondisi dinamika faktor fisiologis yang dialami dalam menjalani hidupnya di sepanjang hayatnya itu sudah tentu berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu yang dibentuknya. Dengan demikian, jelaslah bahwa faktor fisiologi tetumbuhan berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu.
Demikian uraian yang berkait dengan sub-bab Faktor Fisiologi tetumbuhan sebagai sub-bab faktor keempat. Uraian tersebut akan disusul oleh faktor kelima yakni faktor umur tetumbuhan. Uraian tentang faktor umur ini disajikan pada sub-bab berikut.
1.5. Faktor Umur
Sebagai makhluk hidup, tetumbuhan itu mengalami perkembangan kondisi fisik, yang secara keseluruhan disebut daur hidup biologis. Sebagaimana manusia yang mengalami daur hidup dalam tahapan balita, anak, remaja, dewasa dan tua, maka di dalam konteks tetumbuhan pun, daur hidup itu dikenal dengan tahapan hidup dengan urutan fase-fase: semai / anakan, tiang, pancang, dewasa dan tua. Status sejak dari fase semai sampai dengan fase tua itu dikenal sebagai umur biologi tetumbuhan. Selain itu, pada tetumbuhan juga dikenal umur pemanenan atau umur tebang.
Umur tebang tetumbuhan adalah ungkapan yang diterapkan pada saat terjadinya proses pemanenan terhadap tetumbuhan itu. Oleh karena pemanenan ini selaku dilakukan dengan cara penenbangan, maka terma “Umur Tebang” itu lebih lazim digunakan. Pada umur berapa saat tetumbuhan itu dipanen merupakan pilihan yang ditentukan berdasarkan keputusan yang diambil dalam pola pengelolaan tetumbuhan tersebut. Dalam konteks ini, dikenal adanya terma “Tebang Butuh”, yakni suatu penebangan yang dilakukan pada saat sang pengelola tetumbuhan itu membutuhkannya. Oleh karena itu, tetumbuhan dapat dipanen pada saat tahapan hidup yang berbeda-beda di dalam siklus biologisnya. Dengan kata lain, tetumbuhan itu akan dipanen pada saat mencapai umur tertentu yang berbeda-beda. Perbedaan dalam hal umur pemanenen ini akan berpengaruh terhadap sifat dan karakter kayu yang dihasilkan oleh tetumbuhan tersebut bahkan pada jenis yang sama (Zobel, dan Buijtenen, 1989).
Demikian uraian yang berkait dengan sub-bab Faktor Umur tetumbuhan sekali gus sebagai bagian akhir dari bab 1 tentang Berbagai Faktor Penentu Sifat Kayu dan Karakter kayu budaya. Uraian di atas akan disusul oleh bab 2 yakni Berbagai Parameter Penentu Sifat dan Karakter Kayu. Uraian tentang Berbagai parameter ini akan disajikan pada bab 2 berikut.
2. Berbagai Parameter Penentu Sifat dan Karakter Kayu Budaya
Sebagaimana disebutkan, bahwa kayu budaya dapat dihasilkan dari kelompok Perbambuan yang menghasilkan kayu berupa bambu, kelompok Rerotanan yang mengasilkan kayu berupa rotan, kelompok Pepaleman yang menghasilkan kayu berupa Gelugu dan kelompok Pepohonan yang menghasilkan kayu berupa balak sebagai batang pokok pohon dan dahan-dahan pada batang pokok tersebut. Oleh karena perbedaan dalam hal taksonomi dan karakter pertumbuhan antara masing-masing kelompok tetumbuhan itu, maka produk kayu yang dihasilkannya juga saling berbeda antara kelompok tetumbuhan yang satu terhadap kelompok tetumbuhan yang lain. Meski pun demikian, ada beberapa parameter beserta aspek-aspek tertentu yang digunakan untuk mendiskripsikan sifat kayu budaya dan karakter kayu budaya tersebut.
Di sini disajikan dua terma yang berbeda meski pun hampir sama, yakni terma “Sifat Kayu” dan “Karekter Kayu”. Terma “Sifat Kayu” dipilih bila berkait dengan pendiskripsian secara kuantitatif dan mendetil. Sementara itu, terma “Karakter Kayu” dipilih bila berkait dengna pendiskripsian secara kualitatif dan agregatif.
Karakter kayu sebagai material budaya ini berkait dengan sekurang-kurangnya 5 parameter penentu. Kelima parameter tersebut yaitu: berat kayu, warna kayu, rona kayu, aroma kayu, dan tingkat kekerasan kayu budaya tersebut. Sementara itu, sifat-sifat kayu budaya dipilah lebih lanjut menjadi dua kelompok besar, yakni Sifat-sifat dasar kayu budaya dan Sifat-sifat pengolahan atau sifat pengerjaan kayu budaya.
Masing-masing kelompok sifat kayu budaya ini akan diuraikan secara berurutan. Sifat-sifat dasar kayu budaya sebagai urutan pertama disajikan sebagai berikut.
2.1. Sifat-sifat Dasar Kayu Budaya
Sifat-sifat dasar kayu budaya mencakup lima kelompok sifat dasar. Kelima kelompok sifat dasar ini meliputi: Sifat kimia kayu, sifat anatomi kayu, sifat fisika kayu, dan sifat mekanika kayu dan sifat keawetan alami kayu (Haygreen dan Bowyer, 1982). Masing-masing kelompok sifat dasar ini akan didiskripsikan secara singkat sebagai berikut.
Sifat kimia adalah sifat yang berkaitan dengan berbagai jenis komponen kimiawi penyusun kayu. Di samping itu, sifat kimia juga berkait dengan besarnya proporsi masing-masing komponen kimia tersebut di dalam membentuk kayu.
Sifat struktur dan anatomi adalah sifat yang berkait dengan berbagai jenis jaringan dan pola tersusunnya jaringan-jaringan tersebut di dalam kayu, serta berbagai jenis sel sebagai komponen penyusun sitologis jaringan kayu.
Sifat fisika adalah sifat yang berkait dengan berbagai aspek yang menggambarkan kondisi fisik kayu. Sifat ini mencakup antara lain kadar air dalam kayu, kerapatan kayu, kembang susut kayu dan sifat akustik kayu.
Sifat mekanika kayu adalah sifat yang berkait dengan sifat kekuatan kayu, kelenturan kayu atau kekakuan kayu dan kekarasan kayu. Sifat kekuatan kayu mencakup kekuatan lengkung static kayu, kekuatan tekan kayu, kekuatan geser kayu, kekuatan tarik kayu dan kekuatan belah kayu.
Sifat keawetan alami adalah sifat yang berkait dengan ketahanan secara alami kayu itu terhadap berbagai agen atau berbagai hal yang menjadi penyebab kerusakan kayu. Penyebab kerusakan kayu itu berasal dari banyak factor penyebab, baik penyebab yang bersifat abiotik maupun faltor yang bersifat biotik.
Demikian uraian singkat tentang sifat-sifat dasar kayu. Uraian ini akan disusul oleh uraian tentang Sifat-sifat Pengolahan Kayu Budaya. Uraian tentang sifat-sifat Pengolahan Kayu disajikan dalam sub-bab sebagai berikut.
2.2. Sifat-sifat Pengolahan Kayu Budaya
Sifat-sifat pengolahan kayu mencakup tujuh sifat. Setiap sifat ini kemudian menjadi dasar untuk menentukan tipe teknologi yang sebaiknya diterapkan pada kayu tersebut dalam proses pengolahannya untuk mendapatkan produk karya budaya berbahan kayu. Ketujuh sifat pengolahan kayu ini meliputi: (1) sifat penggergajian kayu, (2) sifat pengawetan kayu, (3) sifat pengeringan kayu, (4) sifat keterawetan kayu, (5) sifat pengerjaan kayu, (6) sifat perekatan kayu dan (7) sifat pengerjaan akhir kayu pada perlakuan pelapisan permukaan. (Kollmann dan Cote, 1968).
Pada kebudayaan moderan ini, banyak peralatan mesin yang digerakkan dengan motor listrik itu digunakan sebagai pengganti terhadap peralatan tradisional yang digerakkan oleh kekuatan otot seseorang dalam rangka mengerjakan kayu untuk menghasilkan karya budaya. Dalam londisi yang demikian ini, maka terma “Sifat Pengerjaan Kayu” sering diganti oleh terma “Sifat Pemesinan Kayu”. Sementara itu, sifat pengerjaan akhir kayu dilakukan dengan memberikan pelapisan pada permukaan kayu, baik dengan menggunakan bahan pelapis berupa cat mapun bahan pelapis yang berupa vernis. Dalam konteks ini, maka sifat pengerjaan akhir yang menggunakan cat disebut sifat pengecatan kayu, sedangkan yang menggunakan vernis disebut sifat pemernisan kayu.
Demikian lah ketujuh macam sifat pengolahan kayu. Masing-masing sifat pengolahan kayu ini akan disertai oleh penjelasan singkat sebagai berikut.
Sifat penggergajian adalah sifat yang berkaitan dengan kondisi kayu itu pada saat digergaji. Dalam konteks ini, didiskripsikan tentang kondisi permukaan sebagai bidang baru yang dihasilkan oleh proses penggergajian. Pendiskripsian berkaitan dengan tingkat kekasaran permukaan bidang ginergaji dan tingkat kualitas penggergajian.
Sifat pengawetan kayu adalah sifat yang berkaitan dengan tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan kayu ketika kayu tersebut dijadikan obyek dalam proses pengawetan. Tingkatan kemudahan atau kesulitan ketika kayu itu dimasuki bahan pengawet menjadi perhatian utama. Tingkat kesulitan atau kemudahan itu kemudian menjadi dasar untuk menentukan jenis dan pola teknologi pengawetan yang dipilih untuk melakukan proses pengawetan.
Sifat pengeringan kayu adalah sifat yang berkait dengan tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan keluarnya air dari dalam kayu ketika kayu tersebut dijadikan obyek dalam proses pengeringan. Tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan itu kemudian menjadi dasar untuk menentukan jenis dan pola teknologi pengeringan yang dipilih untuk melakukan proses pengeringan terhadap kayu tersebut.
Sifat keterawetan kayu adalah sifat yang berkait dengan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan keluarnya kembali bahan pengawet dari kayu itu setelah selesai dilakukannya proses pengawetan. Tingkatan kesulitan atau tingkatan kemudahan keluarnya kembali bahan pengawet ini kemudian menjadi dasar untuk memilih jenis bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan kayu.
Sifat pengerjaan atau sifat pemesinan kayu adalah sifat yang berkait dengan proses penginteraksian antara alat potong dengan kayu budaya tersebut. Di samping itu, juga berkait dengan kualitas hasil yang diperlihatkan oleh tingkat kehalusan atau tingkat kekasaran permukaan kayu setelah dilakukan proses pengerjaan atau pemesinan kayu tersebut.
Sifat perekatan kayu adalah sifat yang berkait dengan proses penyatuan antara dua unit kayu budaya yang penyatuannya dilakukan dengan bantuan penggunaan perekat. Sifat ini menggambarkan tingkat kekuatan rekat antar dua unit kayu setelah proses perekatan selesai dilakukan. Kekuatan rekat ini kemudian menjadi pertimbangan untuk memilih jenis perekat yag digunakan dan jenis teknologi perekatan yang akan diterapkan
Sifat pengerjaan akhir kayu adalah sifat yang berkait dengan perlakuan dalam rangka memberikan pelapisan pada permukaan kayu budaya. Sifat pengerjaan akhir ini juga disebut porses pelapisan permukaan. Proses ini dapat berupa antara lain pengecatan dan pemvernisan. Sifat pelapisan permukaan ini menggambarkan tentang tingkat ketahanan dan karakter hasil pelapisan itu pada pemukaan kayu setelah proses pelapisan tersebut selesai dilakukan.
3. Penutup
Sampai pada titik ini, para pembaca diharapkan telah dipahami bahwa tetumbuhan dibedakan secara taksonomis menjadi empat kelompok, yakni Perbambuan, Rerotanan, Perpalmaan dan Pepohonan. Dengan demikian, terdapat Kayu budaya yang berasal dari empat kelompok: yakni Perbambuan, Rerotanan, Perpalmaan dan Pepohonan. Masing-masing kelompok taksonomis tetumbuhan itu menghasilkan kayu budaya yang memiliki sifat dan karakter kayu yang berbeda-beda antara kayu yang satu terhadap kayu yang lain. Keberbedaan dalam hal sifat-sifat dan karakter kayu–kayu budaya ini disebabkan terutama oleh lima faktor penentu tersebut di atas, di samping juga disebabkan oleh tabiat pertumbuhannya.
Penulis berharap agar pemahaman para pembaca budiman/wati semakin meluas mengenai keberagaman sifat dan karakter kayu budaya Nusantara. Penulis juga ingin menginformasikan bahwa tiga seri tulisan yang telah disajikan di sini, yakni dari tulisan seri pertama sampai dengan tulisan seri ketiga ini dapat diibaratkan sebagai batang tubuh utama bagi ilmu kayu budaya. Tulisan keempat dan berikutnya dapat dipandang sebagai dahan-dahan atau cabang-cabang dari batang tubuh utama ilmu kayu budaya ini.
Pada Alinea pertama pada bab Penutup ini telah diinformasikan tentang keberbedaan dalam hal sifat-sifat dan karakter kayu–kayu budaya. Keberbedaan ini disebabkan terutama oleh lima faktor penentu tersebut di atas, di samping juga disebabkan oleh tabiat pertumbuhannya. Oleh karena keberbedaan itu sangat nyata, maka tabiat pertumbuhan dan sifat-sifat serta karakter kayu yang berasal dari Bambu, Rotan, Gelugu dan Balak itu akan dibahas secara terpisah dan masing-masing dapat dipandang sebagai dahan-dahan ilmu kayu budaya. Dahan-dahan ini akan disajikan dalam suatu tulisan yang akan menyusul terhadap tulisan ini. Dengan demikian, tabiat pertumbuhan dan sifat-sifat serta karakter kayu yang berasal dari Bambu akan disajikan pada tulisan yang akan disajikan pada minggu depan. Setelah itu, maka akan disusul secara berurutan pada minggu minggu berikutnya naskah-naskah tulisan tentang Rotan, Gelugu dan Balak. Semoga mestakung. Salam budaya kayu Nusantara.
Sumber Pustaka
Brady, 1981. The Nature and Properties of Soil. McGraw-Hill Incorporation. New York.
Donahue, R. L., 1958. Soils: An Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice Hall Inc. New York.
Haygreen, J.G., dan Bowyer, J.L., 1982. Forest Product and Wood Science, An Introduction. The Iowa State University Press. Iowa.
Kollmann F.E.P., dan Cote, W.A., 1968. Principle of Wood Science and Technology. Volume I. Springer-Verlag. New York Inc.
Zobel, B.J., dan J.P. Buijtenen, 1989. Wood Variation. It’s Causes and Control. Springer-Verlag. Berlin, Hiedelberg, New York, London, Paris, Tokyo.